Wednesday, November 1, 2023

Sebuah kesadaran yang menyesakkan

Dulu saya pernah menulis di status Facebook, tentang sulitnya menjadi orang beriman yang baik (https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02BHRYsg1tP48rs9nQQorG4zSUGNoXZpj1VyQNqteCX7eqaLnsj9PMucmn3MyNjVpxl&id=715109957&mibextid=Nif5oz).

Baru-baru ini saya kembali diguncang dengan statement seorang teman tentang dosa. Awalnya adalah penilaian kami tentang suatu perbuatan yang kami nilai berdosa, lalu jadi agak melebar menjadi: bukankah masih banyak dosa-dosa lain yang juga kita lakukan sehari-hari?

Terus terang saya agak kaget saat itu, bukan saja karena saya langsung menginsyafi diri ini yang juga banyak dosa, tapi adalah betapa mudahnya ia mengakui dosa-dosanya tersebut, mulai yang dianggap kecil sampai yang lumayan besar, seolah itu bukanlah aib. Saya tidak menyalahkannya, karena apa yang ia lakukan memang kondisi sehari-hari yang tidak bisa terelakkan. Hanya saja yang membuat shock adalah alangkah mudahnya kita selama ini melakukan dosa, tanpa rasa malu, tanpa rasa bersalah, seolah itu hal yang lumrah saja. Padahal iman itu sebagian besarnya adalah rasa malu. 

Apakah itu berarti kita tidak beriman? Balik lagi ke tulisan saya di Facebook. 

Memang menjadi orang beriman yang baik itu sulit. 

Teman saya itu adalah orang yang sangat baik, luhur budi, perhatian dan sangat bisa dipercaya. Bisa dibilang, kalau saya punya harta berlimpah dan harus dititipkan, maka ia adalah orang pertama yg akan saya berikan amanah itu. Namun ia pun tak luput dari dosa, membuat saya yang level kebaikannya belum setinggi dia jadi tambah insecure.

Tiba-tiba seperti ada suara yang mengatakan kepada saya, "hei kamu. Jangan sombong kalau sedang ditimpa musibah, jangan merasa itu ujian dari Allah, padahal itu sebenarnya hukuman". 

Hukuman ataupun ujian, semuanya mengandung hikmah, mau jadi apa kita setelah melaluinya? Menjalankan keimanan dengan lebih baik lagi, atau makin terlena dengan kehidupan dunia dan makin santai melakukan dosa-dosa, hanya karena: sudah biasa.

Yang ironis, kita kadang meninggalkan sesuatu karena ingin membersihkan diri dari dosa, namun ternyata dalam perjalanan hijrah itu, kita melakukan dosa-dosa lain yang tak kalah seriusnya. Maka apa arti hijrah kita? Apakah hal ini harus dimaklumi sebagai "proses"? Sampai kapan sesuatu hal dikatakan proses? Apakah dalam suatu proses, boleh melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang? Bukankah itu menandakan ketidakseriusan kita dalam menginginkan perubahan? 

Saya, terus terang masih mencerna semua ini; saya yang bodoh, yang sering berbangga diri, dan masih terseok-seok dalam menjalani perintah dan larangan Allah Subhanahu wata'ala. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah senantiasa membimbing kita semua dalam syariatNya. Semoga kita semua menjadi hamba-hamba yang pandai bersyukur, menjauhi perbuatan dosa, dan menjadi sebaik-baik muslim sebagaimana yang diharapkan oleh baginda nabi Rasulullah Sallallahu 'alaihi wassalam. Aamiin ya Rabbal aalamiin.


Allahul musta'an.


No comments: