Tuesday, November 25, 2008

Garuda Pancasila ala Faza




Gara-gara buku Mencari Telur Garuda, si Faza jadi gandrung menggambar burung garuda...sampai saat ini bukunya sendiri hilang entah kemana, akibat disembunyikan Faza (tiba-tiba dia lupa naruh dimana)

masih banyak sebenernya versi yang lebih aneh, cuma masalahnya dia menggambar di media mana saja, termasuk media yang tidak terbayangkan..

Mencari Telur Garuda

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Nanang R. Hidayat

Bagi yang belum membaca buku ini, maka ada baiknya saya kasih bocoran sedikit.

Buku ini adalah hasil dari keprihatin saudara-saudara kita atas fenomena hilangnya wujud "ideologi" bangsa, baik secara material maupun spiritual, yang karenanya, patut mendapat ucapan terima kasih dari kita semua. (mungkin sekalian sama undangan makan-makan..hahaha...hush!)

Padahal kita semua musti paham, bahwa ideologi bangsa adalah satu hal yang substantif, karena digali dari falsafah dan budaya bangsa yang ada turun temurun ditambah ide dan cita-cita yang diharapkan oleh para pendiri bangsa.

Bukankah begitu, sodara-sodara? (hehe...takut ditimpuk sama mas Anto nih)

Nah buku ini mencoba menyampaikan keprihatinan tersebut, dimulai dari sejarah terpilihnya burung Garuda itu sebagai lambang negara dan Pancasila sebagai ideologi negara. Perkawinan keduanya menghasilkan bentuk yang unik, yaitu sebuah sosok burung garuda menengok ke kanan (kenapa kanan? ya baca aja sendiri) dengan komposisi bulu-bulu yang disesuaikan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia dan yang paling menyolok adalah perisai Pancasila yang senantiasa menghias dada Garuda kesayangan kita itu.

Jika di tahun 80-an masa Orde Baru sosok Garuda Pancasila ini mendapatkan masa keemasannya, tidak demikian halnya sekarang. Meski masih tetap menghiasi setiap dinding di sekolah dan gedung-gedung perkantoran, Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang ini seperti kehilangan ruh-nya. Sehingga beberapa kali pernah diselenggarakan seminar, pentas seni maupun rubrik di surat kabar dsb yang menampilkan kisah sedih Sang Garuda Pancasila.

why??? why???

jawabannya ada di lubuk hati yang terdalam...(wuaa...beraaatss...)

Meski sebenarnya permasalahan yang ditampilkan adalah serius (ini lambang negara kita, Bos!), tapi disampaikan dengan cara yang semi santai dan dilengkapi dengan foto-foto patung Garuda Pancasila di beberapa daerah serta gambar-gambar garuda pancasila dalam berbagai persepsi masyarakat (termasuk anak-anak) atas lambang negara tersebut.

yang serius banget sih Kata Pengantarnya, memang...huehuehue..
(keyknya bener-bener ditimpuk mas Anto nih...)

kata orang pinter mah: "Thoughts become things"
kata Bung Karno: "Jas Merah"

maka, marilah kita semua kembali menghayati dasar-dasar negara kita tercinta ini, mengingati lagi perjalanan bangsa kita, dan semakin mencintai negara kita ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya, menggali potensi diri demi tercapai cita-cita bangsa, yaitu masyarakat adil makmur sentosa yang gemah ripah loh jinawi...amin...

Hidup Indonesia!!! Merdeka!!! save the planet!!! Go green!!!


Nah ini review yang lebih serius...milik seorang teman (http://www.goodreads.com/review/show/37230226)

Th 2006 lalu saya terlibat cukup intens dlm acara Restorasi Pancasila, simposium nasional di UI yg gongnya adalah Pidato Pancasila oleh Presiden SBY di Plenary Hall Balai Sidang Jakarta Convention Center 1 Juni 2006 dan pembacaan Maklumat Keindonesiaan.

Rangkaian acara ini adalah upaya utk mengembalikan Pancasila sbg dasar negara kita, stlh disandera dan diberi penafsiran tunggal oleh Orde Baru yang membuat Pancasila seakan identik dg Orba dan pantas ditanggalkan pasca reformasi 1998. Uniknya bbrp aktivis yg menggarap acara ini adl org2 yg dulu pada th 1990-an sempat membuat smacam newsletter berlogo Garuda Pancasila dipanah (!) sbg protesnya thd rezim Soeharto.

Reaksi yg saya terima dr bbrp pihak saat penggalangan acara ini maupun sesudahnya, sama persis dg yg ditulis Nanang di pendahuluan buku ini: "Hare gene ngomongin Pancasila?" (h.1) Namun kenyataan belakangan ini membuktikan Pancasila ttp aktual dan penting utk dibicarakan.

Buku Nanang ini sendiri adalah salah satu upaya pembicaraan itu, dg memfokuskan pd soal visualisasi Garuda Pancasila (bgmn sejarahnya dan bgmn ia ditafsirkan dlm konteks lokal-partikular). Ini penelitian mahapenting, bukan cuma buat kita di sini tapi juga layak diinggriskan dan dipasarkan di studi2 Indonesia di universitas luar, namun dg sejumlah perbaikan. Maka kritik/masukan yg saya tulis sebaiknya dibaca dlm kerangka perbaikan tsb.

Soal penulisan
Nanang menggeluti dunia visual dan tafsiran2 yg diberikannya thd visualisasi Pancasila di buku ini bertolak dari bidangnya tsb, namun tak ada salahnya ia dibantu seorg penulis yg berlatar sejarawan/peneliti sosial utk memperdalam uraiannya. Saya pikir bbrp kutipan dari milis tak layak masuk krn hanya berdasarkan omongan (h.31-32), begitu juga ucapan Widyatmoko ttg pencetus sayap 17 helai, ekor 8 sisik dsb (h.36), atau uraian ttg logo Republik Mimpi "Konon kata perancangnya" (h.51, hrs disebutkan perancangnya itu siapa juga sumber otentik pernyataan tsb). Apalagi rujukan 'omong kosong' ttg organisasi internasional bernama International Illumination dan Luciferians Corp (h.79-80) bikin buku ini berkurang kesahihannya.

Jadi intinya: bbrp poin perlu diperdalam dg data. Karya nonfiksi bisa ditulis dg gaya paling serius sampe paling nyeleneh. Terserah, tapi data tetap penting. Misalnya h.49 saat Nanang mengkaitkan gapura Pancasila aneka warna di kampung2 dg kemenangan partai tertentu di kampung tsb. Nah ini saya kira perlu ada data riil hasil pilkada/parpol dominan di kampung tsb dan bukan cuma tafsiran. Begitu juga dg h.47 saat membahas gapura Pancasila hanya dg 1 sila di "gang di sekitar kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta". Mungkin perlu ada wwncara dg ketua RT atau warga.

Editor jg perlu lebih teliti. Masa yg begini2 lolos dari pantauan sih: blad eagle (h.10), multiple chois (h.38)

Soal tata letak
- Buku ini dimaksudkan sbg buku visual, tapi sayang bbrp foto yg dibahas/dianggap penting justru dipasang dg ukuran kecil (buku ini memang terbit dlm 2 edisi. Kata Miaa, yg HC lebih besar dibanding edisi SC yg saya baca ini, tapi bukan itu poinnya. Bbrp foto semestinya dipasang sebesar 1 kolom penuh dan bukan cuma nyempil di antara teks), misl. foto h.47, 2 foto dahsyat di h. 41, foto atas sisi paling kanan h. 14 dsb.

- Sbg buku visual, buku ini mengandung cacat banyaknya foto tanpa caption (keterangan letak dan tanggal pemotretan), apalagi di hlm khusus foto 115-133. Keterangan ini menurut saya esensial utk memahami visualisasi garuda itu dlm konteks sosialnya.

Beberapa hal yg jadi pikiran saya
1. Soal mengapa Garuda menghadap kanan? Nanang mmberi penjelasan bhw ini semata2 kebiasaan bangsa Indonesia bhw kanan dianggap baik sementara kiri sial, jahat, serong. Namun dlm konteks politik masa2 Revolusi, mengganggap kiri sial, jahat, dan serong tentulah tidak mungkin secara politik. Bahkan kabinet Ind saat itu pun bernama Koalisi Sayap Kiri. Jadi menurut saya penjelasan Nanang kurang memadai. Pasti ada alasan lain mengapa Garuda menghadap kanan. Di sini dibutuhkan campur tangan sejarawan. Bisa jadi –-dan saya duga demikian—- justru tidak ada penjelasannya. Gambar itu terjadi begitu saja hanya krn kebiasaan kita menulis dari kiri ke kanan.

2. Sehubungan dg poin no. 1 ini, Nanang juga tidak menjelaskan foto sangat penting yg dipajang besar2 di h.40: garudanya menghadap kiri! Foto gapura yg tanpa keterangan ini jelas butuh pembahasan khusus, serta wawancara dg warga atau ketua RT dsb.

3. Soal transformasi logo Garuda dan tak adanya penjelasan lengkap ttg siapa saja anggota Panitia Lencana Negara (h.19). Saat itu Pancasila sudah dirumuskan, tp dlm visualisasi perisai di versi 1 kita tak melihat adanya lambang bintang (Ketuhanan) dan silanya pun cuma 4. Dlm versi 2 padi dipisah dg kapas dan bintang tetap ga ada. Pada versi 3, 'Bhinneka' masih tertulis 'Bhineka'. Menjadi tugas penting utk membongkar arsip ttg anggota panitia ini dan perdebatan2 di dlmnya sehingga transformasi ini bisa dilacak asal usulnya.

4. Saya baru tahu kalau logo Republik Mimpi itu dimaksudkan untuk menggambarkan "semangat saling menghormati dan mempersilahkan orang2 utk maju" krn sayapnya yang menekuk seolah "sedang mempersilakan kita untuk berjalan di samping kirinya" (h.51) Saya selalu menyangka logo itu menggambarkan si burung sedang menguap krn ngantuk (Rep Mimpi kan?)

5. Apa mata saya salah liat? Garuda di h.119 sepertinya sedang menghisap pipa cangklong!

6. Foto h.121 kiri atas sepertinya memang bukan berniat bikin Garuda deh, tapi ayam yg emang banyak dipasang di jam (ketularan budaya Eropa) sbg tanda 'bangun pagi'

-----

Penelitian Nanang ini perlu diperluas. Saya pikir pemerintah juga berkepentingan dg proyek ini dan wajib mendanainya. Kita perlu tahu dengan jujur bgmn Garuda (yg dicomot dari mitologi Hindu/India dan didasarkan pada elang jawa) dipersepsi oleh org di Papua atau Aceh misalnya, pada masa2 pembentukan RI, masa Orba, sampai masa skrg yg punya sejarah kelam dg kekerasan militer berdasarkan Pancasila steril dan Jawanisasi ala Orba.

-----

Terakhir, saya ajak temen2 vote gambar Garuda versi anak2 SD mana yang jadi favorit? Saya vote karya Arif GS (h. 94 kiri atas) karena berani meletakkan pita Bhinneka di belakang garudanya. Saya juga vote karya Merizka (h.95 kanan atas) karena gambar burung dan bantengnya senyum2

Monday, November 24, 2008

unek-unek

1. Dengan kerusakan alam yang telah dibuat oleh salah satu anak perusahaannya, Abu Rizal Bakrie tetap jadi menteri dan tetap jadi salah satu orang terkaya di Indonesia

2. Meski sudah beberapa kali tabung gas "melon" yang (notabene merupakan program pemerintah) mencabut nyawa dan melukai manusia, pemerintah tidak pernah bertindak apalagi ngasih ganti rugi

3. tidak ada yang menuntut PLN atas kebakaran yang disebabkan atas lilin (gara2 listrik mati)

4. Banyak permasalahan sosial yang terjadi gara-gara banyak suami/bapak yang meninggalkan istri dan anak2nya tanpa tanggung jawab, dan pemerintah tidak pernah bertindak

5. di beberapa daerah, kondisi hidup PNS jauh lebih makmur daripada masyarakat yang dilayaninya

6. apa lagi yah, entar kalo inget lagi ya...
 

Thursday, November 20, 2008

Segelas Beras Untuk Berdua

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Sindhunata
(review favorit saya, milik seorang teman)

Memulai...

Membacanya saya menyepakati anjuran Ki Ageng Banguntapan. Membacalah dari yang paling suka. Biarkan hatimu bicara untuk persoalan yang konon penuh dengan kesempitan.

Memulakannya dari cerita pertama, ah...tak tahan saya. Menarik napas barang sebentar. Mana ada yang lebih miris dari pandangan syahdu merindu bulan dari sepasang mata yang tidak lagi bersahabat dengan cahaya? Mana ada yang sanggup menahan keromantisan sepasang buta dari lereng Merapi, Mbok Tukinem dan Pak Suwito.

Bab berganti, bab terlewati. Tak semuanya air mata. Tak semua yang papa adalah mulia. Tapi dari mereka pun masih bisa dipetik pelajaran. Kesempatan bukan hanya ada dalam kelapangan. Kesempatan adalah sebuah pilihan, meski itu dalam kesempitan.

Dari yang mulia, kita bisa tahu bahwa Tuhan melapangkan mereka yang sanggup senyum di tengah kesempitannya. Jembar hati. Nrimo ing pandum.

Untuk Mbok Tukinem dan Pak Suwitoutomo, sebaris tembang dari Bang Iwan,

Jalan berdampingan
tak pernah ada tujuan
Membelah malam
mendung yang selalu datang
Ku dekap erat
Ku pandang senyummu
dengan sorot mata
yang keduanya buta
Lalu kubisikan sebaris kata-kata...

Gusti paringono sabar lan sapi...:D

Nggeh Mbok, saya ngguyu, saya tertawa untuk diri saya. Tertawa miris betapa saya miskin untuk laku nrimo dan jembar hati yang mbok miliki.

Saya tak mau berlagak sedih dan punya segudang kasihan untuk orang semacam Mbok Ayu Tukinem. Mereka jauh lebih kaya dengan sagon bertabur cinta, nrimo dan kejembaran hatinya. Jangan-jangan, kasihan dan air mata yang hendak menitik adalah sebentuk iri akan kekayaan mereka yang tak mampu dibeli kecuali dengan laku. Satu-satunya kefakiran mBok Ayu Tukinem adalah dihadapan-Nya. Bukan di depan dunia.

Yo ngguyu meneh, dilanjut bacanya!

*Ampe di Garcia Lorca*
Sampai beberapa bab terakhir setelah lompat sana-sini saya memerlukan untuk istirahat. Terharu? Mungkin. Walaupun sempat menemukan sebuah kata "kasihan" terserak yang menurut saya salah tempat (hal. 35). Saya lebih menikmati geguyon dan nasehat dalam tulisan tentang Bruder "Bagio" Reso. Gembira dan sedih demikian cepat berganti dalam ceritanya. Senyum yang hadir di wajahnya adalah buah pesan neneknya, "Le tansah nyoba gembira ing dria, sumunaring surya, yen wis ngana, atimu dadi ayem, gampang bisa mesem (Nak cobalah selalu gembira di hati bercahaya di wajah, agar hatimu bisa menjadi tentrem, mudah tersenyum)."

Kacamata yang digunakan memang kacamata keharuan, kekaguman perjuangan di tengah kesempitan. Kesempitan yang bisa melanda siapapun, Putri Diana yang selalu disorot kamera, pengabdi kemanusiaan semacam Bunda Theresa yang terdampar di surga bernama Kalkuta, atau bahkan Nenek Aminah, pengayuh rakit di Kali Bekasi. Semua nilai kemanusiaan dalam cerita-cerita dalam buku ini bermuara seperi apa yang diucapkan oleh istri Mbah Setro, "Masak kalau kami diberi bingkisan yang ada ikan ayam-nya kami tega memakannya begitu saja?" Matematika kemanusiaan bermuara pada berapa yang kita berikan bukan berapa yang kita terima, begitu Mbok Khatijah seolah menjawab kenapa ia mesti menyumbang Rp 20.000 hingga Rp 25.000 untuk setiap hajatan.

Saya malah jadi ngungun sendiri, bukan untuk mereka yang ada di cerita itu. Tapi untuk diri saya sendiri. Berapa banyak cerita orang biasa yang bersliweran di sekeliling saya yang batal saya kenang atau catat. Betapa sebenarnya pelajaran itu pating-sliwer di depan mata sementara saya cuma bengong tak peduli. Cerita yang sebenarnya sering kita temui disetiap hilir-mudik saya, tapi terlewat entah karena apa.

Yah, saya kagum dengan sentuhan manusia pada setiap cerita itu. Bahwa untuk menjadi manusia (wong) adalah karunia yang dinikmati setiap manusia besar dan kecil. Bukan cuma kisah kaum besar yang mengubah sejarah, karena sejarah itu milik orang banyak. Persoalan korupsi sejarah, seperti dagelan cum kritik Pak Guno di depan para sejarawan, kiranya akan bisa dikurangi jika banyak suara "kaum marginal" juga punya tempat memadai dalam sketsa besar ruang Sejarah Indonesia. Saya malah merasa cukup disentil ketika Sindhunata menulis tentang Pak Chondro yang tukang reparasi radio tabung menjelang Hari Radio. Untuk sebuah peringatan, profesi Pak Chondro yang nyaris punah seiring perkembangan teknologi adalah sebuah bagian besar yang jarang tercatat. Ketika Sindhunata menulis Pak Chondro, tulisannya adalah tulisan tentang radio dan kemanusiaan yang hidup di sekitar radio.

Sejarah adalah persoalan mencatat, sejarah individu adalah persoalan mencatat dengan kepekaan untuk menelusup ke relung kemanusiaanya.

Bila konon, Ronggowarsito pernah berujar, "mrono-mrene dhurung tau ktemu wong (ke sana-sini belum pernah bertemu manusia)." Ia mungkin perlu bertemu Sindhunata. Pasti ia nanti berucap, "Le, le, kowe kok iso ktemu wong akeh men tho? mbok aku diajarno ben iso ktemu wong(Nak, nak, kamu kok bisa ketemu manusia yang banyak sih? Aku diajarin biar bisa ketemu manusia)." Begitu?

*Tamat*

Sindhunata menulis featurenya yang dirangkum buku ini dalam rentang waktu 11 Februari 1978 hingga 23 April 2005. Sepanjang itu apa yang didapatkannya?

Seorang kawan saya yang hanya sempat menjadi wartawan kontrak di harian Sindhunata menuliskan featurenya pernah menceritakan pengalaman ia diucapkan terimakasih oleh ibu yang anaknya mendapatkan sumbangan darah ketika dirawat di sebuah rumah sakit. Cerita ucapan terimakasih itu rasanya mengalahkan segala getir yang membuat ia tidak bisa melanjutkan profesi kewartawanannya. Teman saya itu bukan lagi wartawan, entah masih menulis pun saya tidak tahu. Kami hanya bertukar kabar ketika ada resepsi dan cit-cet lewat milis yang kami ikuti. Namun cerita itu tanda hidup ketika ia berhasil dalam sebuah tulisannya menyentuh kemanusiaan orang lain. Mungkin tidak sedalam feature yang dibuat Sindhunata, tapi saya tidak lupa antusiasme kawan saya ketika bercerita. "Menyentuh kemanusiaan orang lain ternyata demikian membahagiakan," gumam saya memperhatikan wajah sumringah kawan saya yang baru saja menjadi mantan-wartawan. Demikian juga, menyentuhnya meski lewat bacaan yang dituliskan Sindhunata.

Mengutip semangat yang disampaikan review ini saya hanya ingin berucap, "Selamat mencoba menjadi manusia dan menuliskan kemanusiaan!"

The Notebook

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Romance
Adalah seorang laki-laki tua, yang telah berumur 80 tahun dan tinggal di sebuah panti jompo, memiliki sebuah buku cerita yang kerap dibacakannya kepada seorang wanita (tua juga) di panti jompo itu.

Buku itu menceritakan kisah cinta Noah dan Allie, pasangan berbeda status ekonomi, yang pernah menghabiskan waktu bersama-sama pada liburan musim panas. Noah dan Allie harus berpisah karena liburan berakhir. Akan tetapi, alasan sebenarnya adalah karena keluarga Allie yang berasal dari keluarga kaya menganggap Noah tidak cukup layak untuk menjadi pasangan Allie, meskipun sebenarnya orang tua Allie cukup menyukai Noah.

14 tahun berlalu, Noah dan Allie yang sudah lebih dewasa telah memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Allie telah bertunangan dengan seorang pengacara tampan dan baik hati (tuuh kan, Harlequinn banget), sementara Noah masih terjebak dalam perasaan cintanya kepada Allie yang tak dapat ia lupakan. Meski telah melalui segala hal dalam kehidupannya, salahsatunya adalah perang, Noah tetap tidak dapat melupakan cintanya kepada Allie. Ia membeli sebuah rumah besar di pinggir danau yang pernah sangat berarti dalam sepenggal kisahnya dengan Allie. ia memperbaiki sendiri rumah tersebut hingga keberhasilannya memperbaiki rumah tersebut diartikelkan dalam suatu surat kabar.

Secara tidak sengaja, Allie melihat artikel tersebut, dan iapun kembali dibanjiri kenangannya tentang Noah dan, tentunya, rumah itu. Lalu dengan mantap, Allie memutuskan untuk mengakhiri semua kenangannya dengan Noah, dan mengunjunginya di kota yang pernah dikunjungi pada musim panas 14 tahun yang lalu. Allie akan mengabarkan pada Noah mengenai rencana pernikahannya dengan Lon, lelaki yang dicintainya.

Namun ternyata, saat bersama Noah, Allie terjebak dalam dilema. Ia harus memutuskan dengan siapa ia akan meneruskan hidupnya, Noah atau Lon, keduanya sama-sama mencintainya, dan iapun juga mencintai keduanya.

Lalu siapa yang akhirnya dipilih oleh Allie?

Siapakah cinta sejati Allie, dan apa hubungannya dengan lelaki tua yang selalu membacakan cerita ini pada wanita tua di panti jompo itu?

huhuhu...pokoknya mengharukan!!! siapin tissu 1 box...


The Time Traveller's Wife

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Audrey Niffenegger
Hm, bagaimana rasanya?

Bagaimana rasanya jika baru semenit yang lalu kau bersama-sama suamimu di dapur, memasak makan siang, dan suami mu sedang memotong-motong bawang, dan tiba-tiba..zapp! dia menghilang, secepat itu, meninggalkan dirimu sendirian bersama irisan bawang dan pisau tergeletak di atas meja dapur?

Kau mencoba bersikap seolah-olah itu hal yang wajar, dan berusaha melewatkan hari itu sendirian, menunggu dan berharap ia akan pulang untuk makan malam.

Bagai mana rasanya?

Bagaimana rasanya jika suatu malam engkau sedang terlelap berdampingan dengannya, dan kau bangun di tengah malam mendapati hanya bajunya saja yang tertinggal di sampingmu, dan suamimu entah dimana, mungkin sedang berkeliaran tanpa pakaian dan hanya Tuhan yang tau apa yang akan terjadi padanya, dan kau tak dapat melakukan apapun untuknya?

Bagaimana rasanya?

Seperti itulah kira-kira perasaan yang berangsur-angsur saya rasakan, semakin jauh saya mengenal Clare, the time traveller’s wife.

Clare tumbuh bersama Henry, seorang yang memiliki kelainan genetic, yang menyebabkan dirinya selalu terlempar dari waktu satu ke waktu yang lain. Masa lalu dan masa depan. Meski demikian, Henry selalu berusaha untuk hidup selayaknya manusia normal, dan beruntunglah, ia menemukan Clare, seorang wanita yang sanggup memahami dirinya dan keanehannya itu, yang dicintainya sebesar ia dapat mencintai seorang wanita.

Clare bertemu Henry pertama kali saat usianya 6 tahun, sementara Henry bertemu pertama kali dengan Clare di usia 36 tahun. (Saya pikir hal ini perlu dijelaskan karena kebanyakan orang agak terseret-seret di awal-awal cerita).
Meski masih sangat muda, Clare mampu memahami situasi yang dialami Henry (strong, strong lady) dan merekapun kerap bertemu sepanjang masa kecil dan remaja Clare, sampai akhirnya memutuskan menikah. Hubungan yang dialami memang aneh, tapi inilah yang menciptakan ikatan tak terpisahkan antara mereka.

Ketergantungan, saling membutuhkan.

I guess that what love is all about.

Terlepas dari lompat-lompatnya Henry dari waktu ke waktu yang lain, rumah tangga Clare dan Henry berjalan cukup normal selayaknya pasangan biasa. Henry bekerja di perpustakaan Newberry, dan Clare berprofesi sebagai seniman kontemporer. Mereka melakukan baby-conception dan hang-out bersama teman pasangan mereka (Gomez dan Charisse) yang untungnya dapat memahami keanehan Henry. Akan tetapi Henry tetap berusaha memecahkan persoalan genetisnya dengan mengkonsumsi banyak obat-obatan dari ahlinya.

Ada bagian yang membuat saya teringat kisah Rosemary’s Baby saat Clare menderita kesakitan di masa-masa kehamilannya yang dilalui dengan susah payah (7 kali!). penderitaan, mimpi dan pikiran-pikiran yang ada dalam benak Clare hampir mirip dengan yang dialami oleh Rosemary (Hanya bedanya Rosemary tidak keguguran, dan mengandung bayi setan..ho..ho...)

Secara sederhana, kisah Henry dan Clare sangat berkesan bagi saya, memberi saya pertanyaan-pertanyaan yang terus mengusik, seberapa banyakkah yang dapat saya berikan kepada orang-orang yang saya cintai?
terlepas dari kekurangan yang mereka alami dan hal-hal yang menjengkelkan yang saya terima sebagai balasannya, sejauh manakah saya sanggup mencintainya dengan tulus?
Apakah sudah cukup baik cara saya mencinta? Apakah sudah tepat cara saya menunjukkan kasih sayang kepada mereka, sebanyak yang mereka butuhkan dari saya?
Apakah kasih sayang yang saya berikan dapat membuat mereka bertumbuh baik sesuai dengan yang seharusnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya berujung pada suatu pertanyaan lagi: sudah cukup kuatkah saya apabila saya harus kehilangan orang-orang yang saya cintai?

Well people, inilah alasannya saya memberikan 5 bintang, semuanya, personal sekali.

hanya cinta yang bisa
menaklukan dendam
hanya kasih sayang tulus
yang mampu menyentuh
hanya cinta yang bisa
mendamaikan benci
hanya kasih sayang tulus
yang mampu menembus ruang dan waktu

-Titi DJ feat Agnes M.