Sunday, August 31, 2008

SEA WORLD

 

 
Mama sudah merencanakan cuti 3 hari dari kantornya. Kali ini harus bisa, pikir mama. Selama ini mama tidak pernah ijin dari kantornya, kecuali sakit. Itupun biasanya tetap masuk setengah hari. Kali ini mama sudah merasa jenuh dan butuh menyingkir sejenak dari pekerjaan tiada akhir di kantor, lalu menyiapkan segalanya, terutama pekerjaan-pekerjaan yang akan ditinggalkannya selama 3 hari. Kebetulan proyek juga sedang tidak begitu banyak.

Pagi hari, pukul 6.30. Akhirnya mama ada di rumah juga. Faza dan Kyara sangat senang melihat mama masih ada di rumah pagi-pagi.

“mama ga masuk ya? “ Tanya Faza, anak pertama lelaki mama yang baru bangun tidur.
“iya sayang,”jawab mama, “Faza mau minum susu?” biasanya setiap habis bangun tidur, anak-anak selalu minum segelas susu.
“mama ga dimarahin sama bos mama?” Tanya Kyara, dengan polosnya. Mama tersenyum dan membelai rambut anak perempuannya itu.
“oo…mama masuknya siang ya? Ujar Kyara lagi, sok tahu.
“engga sayang, mama libur. Mama engga masuk kantor sampai hari Senin.”
“mama libur???”teriak Faza dan Kyara serentak. Tumben kompak, pikir mama..hehe..
“iya..”
“horeeee….” Kedua bocah itu berlompatan kegirangan. Ramai sekali suasana pagi itu, anak-anak tertawa riang berlompatan sambil menarik-narik tangan mamanya. “kita jalan-jalan ya ma?? “teriak Kyara.
“ke dufan!!”, teriak Faza
Ke Bogor aja ma” tungkas Kyara. Bogor adalah kampung halaman mereka.
“kalo gitu ke taman safari aja!”
“Ragunan!” Kedua anak itu saling bersahut-sahutan. Heboh sekali.
Mama ikutan girang jadinya.
“sudah-sudah…ayo Faza mandi dulu, sudah jam setengah tujuh lewat, nanti terlambat sekolah..”
Oke ma…” sahut Faza cepat sambil berlari ke kamar mandi. “tapi nanti jalan-jalan ya maa…” teriaknya lagi sambil lari.

 
oOo

 
Hari ketiga mama cuti. 

Selama dua hari ini, mama dan anak-anak tidak pergi kemana-mana. Selain kemarin hujan dan hari sebelumnya mama bertingkah seperti sleeping beauty, alias tidur seharian, juga dikarenakan mama merasa sayang mengeluarkan uang di bulan tua ini. Hehehe…sindrom pegawai kerja pas-pasan memang seperti ini kalau sudah tanggal 20 ke atas.

Meski demikian, anak-anak tetap senang karena mama ada di rumah. Selama 3 hari Faza dijemput oleh mama, bukan kakeknya, dan tiba-tiba Kyara juga jadi hobi jemput kakanya itu (biasanya Kyara tidak bisa ikut jemput kakanya, karena kalau kakek jemput Faza naik sepeda, bukan naik motor..tidak cukup.)

Selain itu, mama juga suka membuat bermacam masakan, seperti nasi goreng yang dibungkus telur dadar, pudding jelly, donat bahkan yang paling hebat, mama kemarin bikin pancake yang disiram dengan syrup leci dan strawberry, meskipun sebenarnya rasa pancakenya lebih mirip kue Lumpur. Tapi yang terpenting anak-anak tidak tau kue Lumpur itu seperti apa..jadi mereka tetap merasa mamanya pembuat pancake paling hebat sedunia..hihihi…

Tapi kadang mama suka galak juga, apalagi kalau Faza dan Kyara sudah mulai bertengkar atau rebutan mainan. Mama jengkel karena biasanya kalau beli mainan selalu dua macam, untuk lelaki dan perempuan. Tapi tetap saja mereka rebutan dan teriak-teriak. Tak heran kalau sudah marah, mama suka teriak kencang, “FAZA!!!” (Tiga tanda seru. Biasanya memang Faza yang tidak mau mengalah) “kasih mainan itu ke dedek! Cepat! Mama itung ya….1…2...” kalau sudah begitu, Faza buru-buru memberikan mainan tersebut kepada adiknya meski enggan. Masalahnya kalau mama sudah marah, wah bahaya, bisa-bisa mama manyun seharian dan kacaunya, bakal tidak ada lagi pudding jelly buat mereka.
 

Siang itu setelah Faza pulang sekolah, Faza bertanya kepada mama. “ ma, kita ngga jadi jalan-jalan ya? “ sambil naik kepangkuan mama yang sedang membaca buku “Mengapa Langit Biru?”
“oh iya ya” sahut mama. Sebenarnya bukan mama tidak mau mengajak anak-anak jalan-jalan. Tetapi karena mama ambil cuti pas di tanggal 20, sementara gajian baru hari Senin tanggal 25, maka mama tidak berencana pergi kemana-mana. Lagi pula uang yang ada, hendak mama gunakan untuk membeli keperluan lain yang lebih urgent, seperti baju-baju kerja dan kontak lens. (iya urgent dong, kan buat cari makan :P). Dalam hati mama menyesali sudah menjanjikan jalan-jalan sama anak-anak. Memang yang namanya bohong selalu menyulitkan di akhir.

“aduh Za, engga usah jalan-jalan ya?” kata mama memelas.
“yaa mama, kan sudah janji…” tuh kan, pikir mama.
“ah mama ga janji kok. Kan mama diam saja” idih mama ngeles deh.
“Lagipula ini bulan tua..” sambung mama.
“Bulan tua? Tiba –tiba Kyara menghampiri. “Bulan tua itu apa sih ma?, bulannya udah tua, gitu?“Tanyanya polos.
“engga dede…” sahut Faza dengan muka agak kesal. “bulan tua itu.., artinya bulannya sudah lama”, demikian Faza menjelaskan, dengan tampang puas, seolah-olah sudah memecahkan persoalan.
Mama tergelak.
“anak-anak, bulan tua itu…artinya uang mama tinggal sedikit, soalnya mama belum gajian.”
“gajian itu apa, ma?” Tanya Kyara lagi.
“gajian artinya mama dibayar sama bos mama, karena mama sudah bekerja selama satu bulan sama bos mama, gitu”…mama pura-pura memelototi anak-anaknya, tapi di hati mama geli sendiri.
“ooo…mama belum dibayar ya sama bos mama? Berarti mama harus cepat kerja sekarang, biar gajian”,sambung Kyara si kecil yang sok tahu dengan muka yang cemas.
Mama tergelak…anak-anak memang lucu…tidak berhenti mencecar mamanya.
Lalu akhirnya mama menyerah.
“iya deh…iya..aduh anak-anak maksa banget yaa…” mama memeluk kedua bocah itu yang sekarang sudah berada di pangkuannya. Masing-masing di salah satu paha mamanya.
“ya sudah sekarang kita siap-siap…kita ke Sea World aja ya…ayo ganti baju anak-anak…”
“jangan lupa ajak kakek”.

Saat anak-anak sedang bersiap-siap di kamarnya, diam-diam mama menghitung uangnya di dompet. Kelihatannya cukup, selama hari Senin nanti benar-benar gajian. Meski demikian, tadinya uang itu diniatkan membeli baju kerja mama yang rata-rata sudah usang. Sebenarnya untuk keperluan itu, mama sudah merencanakan sejak lama. Tapi karena tidak tega sama anak-anak, akhirnya mama memutuskan untuk memakai uang itu dulu. Kapan lagi mama bisa ambil cuti seperti ini.

Suasana menjadi heboh. Anak-anak sangat gembira sampai-sampai mereka tidak bisa menemukan sepatu jalan-jalannya.

Setelah keributan disana-sini, akhirnya mereka berangkat.

 
oOo


Sesampainya di pintu gerbang Taman Impian Jaya Ancol, anak-anak tidak berhenti-henti membuat kehebohan. Mereka menunjuk-nunjuk badut-badut yang ada di sepanjang pagar pintu masuk sambil teriak-teriak memanggilnya. Mama dan kakek sih senyum-senyum saja, sudah biasa.

Tak lama merekapun sampai di pintu gerbang Sea World. Sementara anak-anak menarik-narik tangan kakeknya ingin segera berlari masuk ke dalam Sea World, mama menuju ke loket pembayaran.

“Mba, 2 orang dewasa dan 2 anak-anak” ujar mama di depan loket, “berapa?“ tambahnya lagi.
“Rp. 40,000 untuk diatas usia 3 tahun Bu. Diskon 40 % untuk diatas 60 tahun” jawab mbak penjaga loket dengan ramah.
“kalau begitu yang diatas 60 tahun dua orang, mba” sahut mama garing. Mbak-mbak itu tertawa, lalu berkata,”syaratnya hanya tunjukkan KTP saja Bu” sambungnya.

Kemudian mama memanggil kakek, dan yang dipanggil, sambil memanggil anak-anak dengan putus asa, kakek tergopoh-gopoh mendekati mama.
“ada apa?” tanyanya.
“untuk diatas 60 tahun diskon 40% Kek,” ujar mama, ”minta ditujukkan KTP saja kataya”, dalam hati mama memuji peraturan yang menunjukkan penghargaan bagi orang tua. Tapi tak lama mama berfikir sewot, kenapa anak-anak tidak diskon juga ya? Kan mereka juga masih perlu dukungan pemerintah buat pendidikannya.

Tapi itu cuma dalam fikiran mama saja sih…

Ternyata dalam Sea World itu dingin juga. Mama melihat berkeliling, aquarium beraneka macam terisi ikan-ikan yang beraneka macam juga. Ada yang aquariumnya bulat, lonjong, gepeng, kotak, ada yang besar, kecil bahkan ada yang kecil sekali seperti bingkai foto ukuran 10 R. Selintas mama terhenyak seperti melihat bayangan piring terbang…tapi ternyata bukan piring terbang sih…ternyata itu puluhan ikan pari berbagai ukuran sedang terbang dengan anggunnya.

Anak-anak berlarian mencari pemandangan yang menarik, mereka bergabung dengan kerumunan yang tengah mengerumuni aquarium yang besar ditengah-tengah arena Sea World. Tidak tahunya sebentar lagi acara pemberian makan ikan-ikan yang ada di aquarium besar.

Setelah acara pemberian makan usai, kerumunan bubar, dan anak-anak seketika berlarian lagi mecari pemandangan yag menarik. Mereka langsung tertarik dengan kerumunan lain di seputar kolam penyu. Kakek agak kewalahan menggandeng cucu-cucunya, tapi tawanya tak lepas-lepas dari wajahnya.
“awas Faza…nanti digigit penyu..” teriaknya sesekali.
“Kyara…hati-hati…jangan masukkan tangan ke air..”
“jangan dekati moncongnya…nanti digigit..”
Sementara kakek mengawasi Kyara yang bermain dengan penyu-penyu, mama mengawasi Faza yang segera tertarik dengan kolam ikan hiu.
“mama…liat sini ma…banyak ikan hiu…” teriak Faza setengah histeris. Dari dulu Faza suka sekali ikan hiu. Ia sudah membaca beberapa buku tentang binatang dan sepertinya memutuskan untuk menjadikan hewan-hewam karnivora sebagai favoritnya. Hiiiy…bakat sadis jangan-jangan.

Ternyata ikan-ikan hiunya boleh dipegang karena tidak berbahaya. Menurut salah satu petugas, ikan hiu ini masih anakan, jenis ikan hiu buto yang senangnya berenang di dasar laut di perairan dangkal laut tropis.

Faza dan Kyara kegirangan. Keruan saja, mereka langsung mencari spot yang enak dan membaringkan tubuhnya untuk meraih sirip-sirip ikan hiu yang tidak henti-hentinya memutari kolam itu dengan kecepatan 60 km/jam. Eh engga ding, hiu kan ga punya speedometer.

Tiba-tiba, saat sedang mengamati anak-anak, mama didekati oleh kru TV yang sedang mengadakan siaran.

“ibu, maaf, saya Nina dari Trans TV, mau wawancara ibu dan anak-anak sebentar, boleh?” tanyanya ramah.
Mama tercengang. Masuk TV? Wah boleh juga nih, pikir mama. Aduh kalau tau bakal diwawancara TV, pasti tadi mama pakai bedak agak banyakan..hehehe…
“oh, boleh mba…acara apa kalau boleh tau?” Tanya mama refleks merapikan rambutnya. (padahal ga ngaruh sih dirapihin atau engga…ya begitu aja)
“acara Asal Usul Bu, tiap hari Rabu jam 10 pagi” jawab sang reporter sambil memamerkan senyum manisnya.
“nanti Ibu akan saya tanya-tanya tentang ikan hiu…anak-anak juga. Siap aja ya Bu…”
Dalam hati mama, sebenarnya tidak tahu banyak tentang hiu, tapi berhubung mau masuk TV, mama iya-iya saja.
Deg-degan.
Kru TV segera menyiapkan kamera dan lampu sorot berkekuatan gamma…(habis panas banget sih) lalu setelah mengucapkan aba-aba, sang reporter langsung beraksi.

Detil wawancara tidak perlu diceritakan disini, karena tidak penting (ternyata hanya bertanya tentang makanan yang terbuat dari ikan hiu) tapi yang menyedihkan ternyata anak-anak tidak mau diwawancarai, karena lebih tertarik sama ikan-ikan hiu di kolam.

Intinya wawancara yang tidak berbobot, karena mama asal ngomong kalau sup hisit itu terbuat dari sirip ikan hiu..idih…sok tau banget kan mama. Mudah-mudahan benar.

Tanpa terasa, hari sudah beranjak sore. rombongan harus segera pulang. Anak-anak, mama dan kakek tadi siang juga sudah makan di restoran yang ada di arena Sea World. Meski di pintu keluar mama sempat merutuk, ternyata ada restoran A&W tepat di pintu keluar itu, secara di restoran tadi harga makanannya mahal-mahal banget, jreng…

Di perjalanan pulang, mama mensyukuri hari ini, mensyukuri tawa anak-anaknya dan kakeknya, mensyukuri bahwa setongpes-tongpesnya mama masih bisa mengajak anak-anak jalan-jalan. Meski ada yang harus dikorbankan, yaitu keperluan pribadi mama, yaitu tas Dolce & Gabbana (halah,…engga), tapi rasanya mama tidak menyesal, karena sudah tergantikan oleh rona kebahagiaan di wajah anak-anak dan ayahnya tersayang.

Lagipula, mereka berempat  kan bakal masuk Trans TV…hihihi…yipppiiiiii….


jakarta, 27 April 2006

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

Friday, August 22, 2008

Tarsinah

Mataku terpaku pada potongan gambar di televisi. Berita yang dibacakan oleh reporter cantik itu sungguh membuat bumi yang kupijak seolah-olah melesak ke dalam.

Jantungku seperti mencelos dan duniaku disekelilingku seakan sejenak gelap berputar-putar.

Mungkin dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang bocah miskin yang berusaha bertahan hidup di dunianya yang kejam. Saat itu aku bahkan belum mengetahui namanya, selain wajahnya yang mengesankan kebeliaannya.

Entah didesak oleh kebutuhan ekonomi keluarga, ingin membantu orang tua atau ditipu oleh agen penyalur PRT, pada akhirnya ia terdampar di sebuah rumah di daerah tempat aku mengotrak selama 3 bulan terakhir ini.

Pertama kali aku melihatnya di rumah itu, yaitu saat aku harus berangkat pagi-pagi sekali untuk ke bandara. Aku melihatnya sedang menyapu halaman. Saat itulah aku melihatnya pertama dan terakhir kali. Ia membawa baki sampah dari halaman dan membuangnya ke tempat sampah di depan rumah itu. Selintas aku melihat gerakan yang ganjil dari cara bocah itu berjalan, seeprti terseok-seok. Refleks aku melihat pada kakinya dan terperanjat begitu menemukan bekas-bekas luka seperti sundutan rokok dan lebam lainnya. Sontak aku berhenti dan menatapnya. Sadar diperhatikan, ia menoleh ke arahku dan membalikkan tubuhnya dengan tergesa-gesa masuk ke halaman rumah lagi. Aku mencoba menyusulnya, namun ketika aku sampai di depan halaman rumahnya terdengar bunyi mesin mobil dinyalakan dan dan sepasang mata menatapku curiga. Kuduga dia adalah majikan perempuannya.

Aku segera melanjutkan perjalananku dengan benak dipenuhi tanda tanya. Aku tidak mengenal tetanggaku yang satu ini, selain karena baru 3 bulan aku mengontrak disini, setiap aku melewatinya, rumah ini juga selalu tertutup pintu pagarnya.

Sejak pagi itu, hatiku selalu resah. Aku yakin ada sesuatu terjadi di rumah itu, sesuatu yang mengerikan, mengingat bekas-bekas luka di kaki bocah itu dan tatapan kejam dari majikan perempuannya. Aku berusaha memanjangkan telinga mencari-cari berita atau kasak-kusuk di kalangan tetangga, mungkin saja ada yang pernah tau tentang rumah itu dan bocah pembantu di dalamnya.

Tapi sia-sia saja.

oOo

Dua bulan berlalu, kesibukan kerja telah menyita waktu dan pikiranku sehingga permasalahan bocah pembantu itu terhilang dari benakku. Sampai secara tidak sengaja sewaktu aku berjalan pulang dari kantorku, samar-samar aku mendengar obrolan di depan pos siskamling. Ada sekitar 4 orang lelaki yang sedang duduk disana, namun tidak ada satu orangpun yang kukenal.

“iya, kasian bener..kasian, ga tega ngeliatnya”, ujar salah seorang yang berkaus biru.

“katanya sih, waktu ditanya, tuh anak jatoh dari tangga, jidatnya benjol gitu”

Aku mendekat, ada tukang gorengan di seberang pos siskamling itu. Firasatku mengatakan bahwa mereka sedang membicarakan bocah pembantu itu.

Aku berpura-pura memilih gorengan sembari mencoba mencuri dengar obrolan mereka. Entah kenapa aku sangat penasaran.

“si Ati bilang, majikan cewenya dulu pernah dipenjara gara-gara mukulin pembantu juga”, lelaki berkaus putih menambahkan.

“hiiy…jangan-jangan dia kumat lagi, Jang”, sahut temannya yang berkaus merah.

“tau tuh, naga-naganya sih gitu”

“laporin aja ke polisi”

“ntar kalo kita salah, gimana? Berabe, kan ada praduga tak bersalah”

“cieee…belagu luh Jang…sok ngomong kaya orang pinter...praduga tuh makanan apaan??” seorang yang memakai kupluk hijau yang dari tadi diam saja, mengemplang kepala orang yang bernama Ujang. Lalu mereka tertawa-tawa geli.

“trus ceritanya si Karmin gimana tuh? Katanya ketangkep basah selingkuh sama si Nuri?” kali ini si kaus putih yang bicara.

Topik pembicaraan telah berganti. Aku membayar gorengan yang aku beli, lalu meninggalkan tempat itu.

Sampai saat itu aku belum mengetahui nama bocah pembantu itu. Namun dari kasak kusuk dengan tetangga, penjual nasi uduk, penjual sayur sampai kios pulsa di ujung gang kompleks ini, para tetangga kelihatan sudah mengethui apa yang terjadi di rumah tersebut.

Rata-rata mereka trenyuh, tetapi tak mampu berbuat apa-apa.

“kalo yang sebelum ini mah, udah dipulangin ke agennya”, ucap mpok Sarti penjual nasi uduk pada suatu hari.

“nah kalo yang itu agak tua-an dari yang sekarang Neng”, tambahnya lagi.

“iya, yang sekarang kayanya masih anak-anak banget, Mpok, kok boleh ya anak sekecil itu kerja?” tanyaku penasaran.

“lah jangan Tanya sama saya, Neng..he…he..mana tau, kita”, terkekeh mpok Sarti memperlihatkan barisan giginya yang ompong dua di depan.

“tapi saya denger sih dia ngambil dari Jawa gitu kabarnya”

Aku menarik napas, “pantesan aja kalo gitu Mpok. Saya cuma kasihan aja”

“ya kita juga kasihan Neng, paling-paling  kalo udah dianggep ga bisa kerja tuh bocah dipulangin ke kampungnya”

Mpok Sarti mengikat bungkusan nasi uduk pesananku dengan karet, lalu ia menambahkan,”yang kemaren sih gitu”.

“ya..mudah-mudahan saja Mpok, ini uangnya. Makasih ya”, aku menyerahkan uang pas Rp. 4.000,- kepada Mpok Sarti dan meinggalkan warung nasi uduk untuk berangkat ke kantorku.

oOo

Hari ini, tanggal 17 Agustus 2008, Hari peringatan proklamasi kemerdekaan RI, tepat satu bulan setelah aku pindah dari kontrakanku yang lama.

Pagi hari saat aku selesai mandi dan hendak menyeruput kopi, tak sengaja aku melihat berita itu.

Bocah pembantu itu bernama Tarsinah, ternyata umurnya baru 13 tahun. Ia ditemukan tak bernyawa di dalam selubung plastik di sebuah mobil kijang merah milik majikannya. Salah seorang kerabat dari keluarga itu mengatakan bahwa sang majikan hendak membawa jenazah Tarsinah ke RS.

Tapi apakah lazim membawa jenazah manusia ke dokter dengan dibungkus kantong plastik?

Menurut berita, Tarsinah meninggal karena terjatuh dai tangga di rumah itu. Tapi salah seorang tetangga yang dimintai keterangan mengatakan bahwa ia sempat melihat jenazah Tarsinah dari lantai dua rumahnya, saat bungkus plastik dibuka oleh petugas kepolisian. Sekujur tubuhnya biru-biru dan lebam.

Aku terhenyak dan tak sanggup menatap kotak kaca di hadapanku. Mataku berkaca-kaca, dadaku sesak, namun untuk menangis aku sangat malu.

Tak henti-henti aku menyalahkan diriku, menyesalkan orang-orang disekelilingku, menyesalkan Mpok Sarti, Ujang dan ketiga temannya dan yang paling menyakitkan, aku menyalahkan diriku yang pengecut ini. Ribuan kata seandainya, kalau saja dan sebagainya bergelayutan di benakku, membentuk sayap-sayap penyesalan yang tiada bermakna.

Satu nyawa telah hilang, nyawa yang seharusnya bisa kami selamatkan.

 oOo

Lagu Hari Merdeka dinyanyikan dengan gembira oleh kelompok Paduan Suara di Istana Merdeka. Sambil memencet kepalaku yang pening, aku mempertanyakan kemerdekaan itu. Bukankah dulu para pahlawan kita, pejuang kita, berjuang dan bertempur demi keadilan? Mereka tidak mau membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di negeri ini.

Kira-kira satu bulan yang lalu aku memiliki kesempatan untuk memperjuangkan keadilan yang sama.

Tapi aku, sebagaimana yang lain, berpaling dan pergi.