Thursday, December 4, 2008

Ptolemy's Gate (The Bartimaeus Trilogy, Book 3)

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Teens
Author:Jonathan Stroud
lembar terakhir selesai dibaca.

Trilogi bartimaeus akhirnya selesai sudah.
Bukan bartymaeusnya yang berakhir, tapi .....

Akhir yang dramatis dan mengesankan. Pantas, karena demikianlah seharusnya a perfect fight ends. Makanya dibilang perfect, karena kedahsyatan pertempurannya (paling tidak itulah yang ingin digambarkan oleh Pengarangnya).

Dalam buku terakhirnya ini, Jonathan Stroud berhasil membuat kisah pembunuhan dan kematian seolah enteng saja. Mengingat banyaknya korban dalam buku ketiga ini, menurut saya ini mungkin jadi children literature yang paling sadis sekaligus paling enak dibaca.*

Barty masih tetap menghangatkan suasana dengan kata-katanya yang pedas dan kocak, sosoknya bahkan lebih manusiawi daripada manusia itu sendiri.

Maaf, Saya gak bisa mereview, benak ini dipenuhi harap Barty akan kembali lagi dalam kesempatan yang lain.


Pal
(yang sedang patah hati ditinggal Barty)


*eh, engga juga sih, saya ga terlalu banyak membaca child-lit semacam ini juga soalnya :-P
tapi emangnya ini child-lit?
apa sih child-lit itu? halah..

The Golem's Eye (The Bartimaeus Trilogy, Book 2)

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Teens
Author:Jonathan Stroud
baca Barty Trilogy memang mengasyikkan.

jika sudah baca buku pertama, mungkin bab-bab awal buku kedua ini agak membosankan...saya ga tau kenapa. Tapi begitu keluar bab berjudul "Bartimaeus"...langsung hilang bosannya..hehehe...susah emang kalo udah cintrong..

Buku Golem's eye ini mengisahkan dua tahun (2 tahun 8 bulan, tepatnya) setelah pemanggilan jin Barty yang pertama. pemanggilan yang membuatku kepincut sama sosok jin yang memiliki selera humor bagus ini.

Ceritanya di flashback sebentar ke masa Praha, saat Barty bertugas di sana, dengan master yang tidak-terlalu-pintar, sekaligus memberikan sedikit informasi tentang penaklukan Gladstone yang hebat atas Praha.
Kemudian bab-bab selanjutnya menceritakan tentang Kitty, salah seorang pentolan anarki nusantara...eh...maaf, kelompok Resistance, maksud saya ;-), yaitu kelompok anti penyihir yang para anggotanya justru memiliki spesialisasi tertentu dalam mengatasi ilmu persihiran. Sehingga boleh dikata, buku ini menceritakan latar belakang, sebab musabab dari kekacauan yang melanda London, the great empire of witchcraft.

Jika di buku pertama, Amulet Samarkand, Nathaniel digambarkan Barty sebagai penyihir yang berkarakter, di buku kedua ini, Nat telah berubah menjadi penyihir sebagaimana yang lainnya,yang ambisius, angkuh, pemalas, egois dsb, sehingga kadang barty dibuat jengkel oleh sikap Nat. (Yah barty, namanya juga abege, masih dalam masa pencarian kali ya...kan masih 14 tahun..)

Alur cerita masih tetap mengasyikkan, kadang sedikit menyeramkan, secara saya baca buku ini sekitar tengah malam, serasa agak merinding gimanaa.... gitu (mungkin di belakang & samping saya ada sesosok imp atau foliot jail yang meniup-niup tengkuk dan lengan saya..hiiiiyyy)
Tapi asal ada Barty sayang di dalam babnya, dijamin, mata yang kebanyakan zat besi (berat, maksudnya) langsung enteng lagi..hehehe...

Masih ada kejar-kejaran a la Barty yang tentu saja selalu dimenangkan olehnya...(ada satu bagian dimana si barty malah heran sendiri, saat menyadari bahwa dia yang mengejar musuhnya, bukan sebaliknya, karena memang selama ini dia yang selalu dikejar-kejar..hehehe)

Secara keseluruhan sepertinya kita diajak untuk menyaksikan proses pendewasaan Nathaniel (let's check the book 3 :-P), si penyihir yang hebat (ngngng....yah mungkin 80% kehebatannya dibantu sama jagoan kita, Bartimaeus..) yang tentu saja, si Nat ini banyak kekurangannya (please guys, bayangkan saja, dia kan ga punya orang tua...tolong maklum kalau kelakuannya jadi menyebalkan gitu)

Tapi intinya, mulai ada sedikit kekecewaan Barty terhadap masternya ini. terbukti dengan kata-kata perpisahan terakhirnya Barty, dimana ia mengatakan bahwa mulai saat itu ia memanggil Nathaniel dengan nama penyihirnya: Mandrake. Sindiran tajam khas Barty, yang sayangnya, tidak disadari oleh Nathaniel yang sedang dimabuk kekuasaan.

well, well, well, setelah mengatupkan buku ini, kenapa ya ada perasaan ga enak di batin saya??

The Amulet of Samarkand (The Bartimaeus Trilogy, Book 1)

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Teens
Author:Jonathan Stroud
(review seorang teman)

Cerita berawal dari kisah seorang anak kecil yang karena kepolosan dan sifat kekanak-kanakannya, tanpa sadar melibatkan diri pada sebuah konspirasi berbahaya. Karena tak terima atas perlakuan yang dia terima, Nathaniel memanggil jin berusia 5000 tahun-Bartimaeus- dan memerintahkannya untuk mencuri amulet samarkand milik Simon Lovelace.

Plot cerita yang berjalan cepat serta kepandaian penulis dalam menggunakan sudut pandang orang pertama sangat menarik. Cerita ini menggunakan dua sudut pandang orang pertama, yaitu dari sisi jin Bartimaeus serta dari sisi sang Master Nathaniel. Secara bergantian sang penulis menggunakan kedua sudut pandang ini. Hal ini membuat pembaca menjadi lebih dekat dengan karakter tokoh utama, seperti memang yang biasa terjadi pada pendekatan orang pertama. Dengan alur cerita yang tidak rumit dan mudah dicerna, membawa kita masuk ke dunia khayalan Jonathan Straud. Membuat kita membayangkan sihir, makhluk halus dan semacamnya.

Mungkin banyak orang yang sudah sering mendengar ataupun membaca buku-buku dengan latar belakang sihir sebelumnya. Contoh paling sukses adalah serial Harry Potter yang menuai kesuksesan besar di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi jangan anda mengharapkan gambaran dan kesan yang sama. Lupakan semua gambaran anda tentang sapu terbang, topi kerucut penyihir, tongkat sihir, penyihir bijaksana berjanggut putih kelabu, unicorn dan semacamnya.

walaupun intinya adalah kisah petualangan, tetapi tidak dibawa terlalu serius. Banyak adegan-adegan lucu, konyol dan menggelitik. Kadar kenarsisan si jin yang amit2, Pertengkaran-pertengkaran yang membuat tertawa serta dilengapi dengan catatan kaki ala karya ilmiah. Ini semua akan membuatmu jatuh cinta pada kekonyolan jin narsis tanpa tara –Bartimaeus- . Mau tahu ending ceritanya?? Hohoho…baca aja sendiri :P

(review sendiri)

I immediately love Bartimaeus just when I read the first chapter, especially, in the beginning, when he's pulled to this world and trying to scary the little boy with a vision...

what a genius Mr. Stroud, to speak in a Genie's amazing point of view...

(yah...emang ga kreatip ya review akuwh..)

Tuesday, December 2, 2008

Touching The Void

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Joe Simpson
Sungguh bersyukur bulan November ini saya kebanjiran buku-buku bermutu.

Salah satunya adalah buku ini. Touching The Void adalah kisah mengenai pendakian di pegunungan Andes, Peru, yang dilakukan oleh Simon Yates dan Joe Simpson. Sesungguhnya pendakian berlangsung sempurna dan mereka sempat mengambil gambar-gambar yang menakjubkan sebelum akhirnya kelelahan.

Hawa dingin dan cuaca yang tak menentu juga ikut menentukan nasib mereka. Simon terserang frostbite yang cukup parah pada jari tangannya, sementara Joe telah mengalami kelelahan akut. Hingga saat mereka memutuskan turun, energi dan fokus yang ada pada mereka sudah berkurang drastis.
Sementara, jalur turun ternyata lebih sukar daripada pendakian. Dengan kecepatan yang menyedihkan dalam kondisi cuaca yang menyeramkan, mereka berdua menyusuri jalur yang terjal dan berbahaya, penuh salju yang rapuh dan tidak terduga.

Saat Joe mengalami kecelakaan terjatuh ke jurang dan mengalami patah kaki, (maaf ini bukan spoiler karena memang ada di cover belakang :D), yang merupakan vonis fatal (baca:kematian) bagi para pendaki, Joe merasakan penyesalan karena merasa akan menjadi beban bagi Simon, sementara Simon, antara iba dan berat hati mau tidak mau harus menolong rekan sependakiannya. Namun mereka berhasil melakukan kerjasama yang baik dan kompak, sehingga mampu menuruni gunung sedikit demi sedikit, meski sangat menyakitkan buat Joe.

Tapi ternyata musibah belum berakhir, karena saking antusiasnya Simon menurunkan Joe dengan tali (di luncurkan dari atas dengan tali sepanjang 90 meter), mereka tidak menyadari bahwa ada jurang terjal di depan Joe. Akhirnya dapat ditebak, Joe terjatuh ke jurang sedalam (...berapa ya? 35 meter mungkin) . Saat terjatuh, mereka berdua masih saling terikat pada tali di masing-masing tubuh, yang menyebabkan Simon ikut tertarik ke arah Joe.

Dalam kondisi badai salju dan lawina (longsorang bola salju), kelelahan dan frostbite parah, tentu saja Simon tak akan sanggup lama menahan berat tubuh Joe, apalagi menolongnya. Dalam keadaan itulah Simon memutuskan memotong tali yang menahan Joe.

Simon tahu bahwa tindakannya secara moral tidak patut, namun ia juga tahu bahwa ia tak akan dipersalahkan oleh orang ataupun hukum karenanya. Karena itulah, ia memotong tali dengan keyakinan bahwa Joe sudah mati (kalau tidak, pasti akan mati) di dalam jurang tersebut.
Lalu ia menengok jurang tempat Joe terjatuh dan memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda Joe dapat selamat.

lalu ia pergi meninggalkan Joe dengan perasaan berkecamuk.

Teman-teman,

Mulai dari sini dimulailah petualangan yang mendebarkan. Perjuangan antara hidup dan mati seorang Joe Simpson yang tidak pernah menyerah pada keadaan. Perjuangan seorang anak manusia yang tidak berhenti mendengarkan suara hatinya, meski dalam kondisi yang tereamat-sangat tidak mungkin-kaki sebelah kanannya patah dan lututnya remuk-plus-cuaca ekstrem.

Saya tidak akan bisa menggambarkan sebaik Joe sendiri yang telah dengan begitu detailnya menulis pengalamannya di buku ini. Deskripsinya begitu detail, seolah-olah kita sendiri turut mengalami penderitaannya. Strategi2 yang digunakan para pendaki beserta alat-alat yang digunakanpun diuraikan dengan sangat baik.

Baca deh!

Ada satu kesimpulan yang cukup mengejutkan, dimana setelah dianalisa faktor kesalahan apa yang menyebabkan mereka mengalami kegagalan penurunan, ternyata sepele. Mereka kurang membawa gas untuk keperluan memasak air! Mereka hanya membawa secukupnya saja, dengan asumsi tidak akan lama mendaki. ternyata akibat kurangnya persediaan gas tersebut, mereka jadi terburu-buru dan kurang konsentrasi. Akibat yang fatal harus dialami.
Konflik batin, luka fisik, dan pengalaman menyedihkan selama berada di gunung es.

tapi begitulah hidup, karena jika tidak mengalami kecelakaan ini, Joe Simpson mungkin tidak akan menjadi pebisnis sukses seperti sekarang ini!

C'est La vie.