Wednesday, February 27, 2008

SKID ROW

Start:     Mar 7, '08 8:00p
Location:     Ancol
harus nongtonnnn!!!!!!
itung2 mengingat masa2 jadul....huhuhu

Monday, February 25, 2008

Beautiful East Sumba

Alhamdulillah, saya sudah berada di Jakarta kembali dengan selamat.

Hari Selasa tanggal 19 lalu saya mendapat tugas dari kantor ke Sumba Timur, berkaitan dengan rencana ekspansi proyek jarak pagar perusahaan tempat saya bekerja, ke arah yang "lebih benar"...hehehe...(supaya tidak mempengaruhi tanaman pangan soalnya...)

Kebetulan saat saya berkunjung ke sana, cuaca sedang musim hujan, sehingga tidak sempat merasakan panasnya Sumba yang terkenal itu. konon, musim kemarau disana sangat kering, bisa mencapai 35 derajat C, dan kondisi tanah pun retak-retak seperti di Afrika. (kaya' udah pernah ke Afrika aja...;)
jadi meski sepanjang  hari perjalanan diselimuti mendung dan hujan rintik-rintik, saya cukup menikmati, karena mata saya dihibur oleh hijaunya padang rumput yang luas tak terhingga dan pemandangan dramatis mulai dari beringin batu yang unik, sampai hilir mudiknya hewan di jalan-jalan aspal Sumba.

Pemda Sumtim sendiri berupaya secara massive membangun infrastruktur guna mengundang investor ke wilayahnya. Oleh karena itu, kami tidak begitu kesulitan dengan akses menuju lahan tujuan, karena rata-rata sudah dibangun jalan hotmix atau urugan kapur yang kalau kita melaju di jalan-jalan tersebut, benar-benar nyaris tanpa lawan...alias jadi penguasa jalanan....cuma ya harus hati-hati juga, karena banyak hewan ternak menyeberang jalan...(meskipun kalau hewan tersebut ketabrak, kita bawa kabur juga gada yang tau, wong sepi banget sih..hehe)

Di Sumba, mayoritas penduduk di kotanya, yaitu Waingapu, beragama Kristen. Di desa-desa, masyarakat masih banyak yang menganut kepercayaan "Merapu" (maaf kalau salah penyebutan) dan bermata pencaharian sebagai peternak/penggembala. Ada juga yang bertani jagung dan kacang tanah, namun jumlahnya sedikit, hanya di lokasi-lokasi tertentu. Seorang teman sempat bertanya kepada pemandu jalan kami yang asli orang Sumba, ketika melihat pantai sepanjang perjalanan, kenapa jarang sekali terlihat aktivitas nelayan, padahal laut ada disekeliling Sumba? ternyata jawabannya adalah bahwa etos kerja masyarakat Sumba sejak turun temurun adalah peternak dan gembala, sehingga jarang ada yang menjadi nelayan atau petani seperti di Jawa, karena mereka sepertinya kesulitan merubah tradisi yang sudah mencukupi hidup mereka selama ini. Bagi sebagian orang, sifat ini bisa disalah artikan bahwa masyarakat Sumba pemalas, padahal tidak begitu. Hanya harus ada sosialisasi besar-besaran atau semacam agent of change untuk merubah pola pikir dan budaya mereka untuk lebih agresif dan ingin maju.

Saya pikir, hal ini tentunya dipengaruhi oleh sedikitnya mereka berhubungan dengan "dunia luar", terbukti memang baru sedikit sekali investor dari luar Sumba Timur yang menginvestasikan uangnya di wilayah ini. Sangat disayangkan, karena jarak tempuh pesawat dari Denpasar hanya 1 jam kurang, dan potensi wilayah menurut saya tidak terlalu buruk, kecuali, mungkin, masalah sumber air. Tapi apa yang tak bisa ditaklukkan manusia? Membangun stasiun di luar angkasa saja sudah dilakukan puluhan tahun yang lalu...ya toh?

Yang unik, di Sumtim ini adalah budaya "belis"nya. Belis itu sendiri kalau saya tidak salah mengerti adalah semacam "harga" yang harus dibayarkan, dalam hal denda adat ataupun semacam mas kawin dari lelaki kepada wanita. Bisa berupa kuda, sapi, kambing atau babi, yang jelas harus hewan ternak. Sampai saat ini belum ada belis berupa tanah, karena menurut kepercayaan adat mereka, Merapu , tanah itu sifatnya panas, karena manusia sendiri asalnya dari tanah.

Saya sempat menanyakan konsep ini kepada pemandu jalan kami, karena setau saya konsep tersebut berasal dari agama samawi, sementara, Merapu ini seperti animisme/dinamisme. Ternyata saya diberikan jawaban yang sangat menarik, berkaitan dengan asal muasal orang Sumba ini sendiri, yaitu berasal dari 8 negara/bangsa, mulai dari Yunan sampai manggarai, something like that...duh, saya nyesel juga, kenapa ndak dicatat ya...hehehe...sekarang lupa deh...Asal muasal ini biasanya diceritakan setiap ada orang Sumtim yang meninggal dunia, menurut ajaran mereka, bila tidak dilagukan dulu kisah ini, maka perjalanan mereka belum selesai. Dari situlah generasi sekarang mengetahui asal muasal bangsa mereka. Sang pemandu jalan menceritakan ini ketika kami memasuki desa Wunga, yang berarti "Permulaan".

Kami sempat mengunjungi rumah adat mereka, yang merupakan semacam rumah gadang, yang berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu dengan atap model joglo (fungsinya untuk menyimpan barang berharga). Di rumah tersebut bisa tinggal sampai 4 keluarga dan bisa lebih dari 50 orang yang hidup di rumah tersebut.



Kami juga menyempatkan diri menemui kepala adat/bangsawan Sumba yang biasa disebut Bapa Raja. Disini kami disuguhi sajian sirih pinang dan kapurnya (aduh, saya tidak mengerti benda apakah itu, jadi tidak sempat saya cicipi) dan kami juga diceritakan mengenai adat belis yang unik itu, yaitu jika harga wanita Sumba biasa pada umumnya adalah 15 ekor kuda dan sebentuk emas batangan, maka untuk seorang wanita bangsawan, harganya adalah 100 ekor kuda, emas batangan dan kain tenun. Waah...lumayan juga ternyata. Jika harga kuda saat ini Rp. 1,5 s/d 2 juta, maka  lelaki Sumba yang ingin menikah dengan wanita biasa harus menyediakan  uang paling tidak  Rp. 20 juta plus emas batangan itu. Tapi, harga ini biasanya ditanggung  oleh keluarga/kekerabatan, yang memang terkenal erat sekali ikatannya di Sumba Timur ini. Itulah sebabnya wilayah ini relatif jauh lebih aman daripada Sumba Tengah ataupun Sumba Barat.

Tetaaapi....ada tapinya nih...untuk wanita bangsawan, biasanya mereka memiliki hamba, dan biasanya jumlahnya 2 orang. Nah, si hamba-hamba ini bisa dibawa tidur juga oleh suaminya itu. Jadi kami sempat berkelakar dengan Bapa Raja, bahwa beliau memberi 100 ekor kuda tidak rugi juga, karena "beli 1 dapat 3" hahaha...
Ada lagi yang lebih unik, yaitu dikarenakan budaya patrilineal yang kuat, maka menjadi seorang wanita di bumi Sumba agak-agak memprihatinkan. Karena menurut adat Merapu, seorang gadis harus menerima lelaki (calon suami) yang sudah memberikan belis kepada keluarganya. Jika ia tidak suka, ia harus punya calon lain yang mau membawanya lari dan menebus belis tersebut. Namun jika tidak ada, maka ia tidak punya jalan lain, harus mau dipaksa tidur oleh si lelaki tersebut. Caranya cukup kejam, karena si gadis akan dimasukkan kedalam kamar dengan lelaki tersebut, dan si lelaki diperbolehkan berbuat apa saja untuk meniduri si gadis sampai berhasil...duuh...kasian yaa...

Tipikal wanita Sumba sendiri menurut saya manis-manis, rambut lurus kecoklatan, mata almond dengan bulu mata yang lentik dan kulit kecoklatan yang indah. Saya kira masih ada garis portugisnya, dan entah campuran dari mana lagi. Hampir setiap wanita yang saya temui memiliki kecantikan khas mereka masing-masing. Tak heranlah kalau begitu, mengapa lelaki Sumba tidak rela melepaskan wanita Sumba, sampai-sampai sudah umum mereka memberikan belis bahkan saat calon istrinya masih dalam kandungan! Cuma ya itu tadi, ga ku-ku patrilistiknya itu lho. Untuk lebih jelasnya tentang adat istiadat suku Sumba, saya ditawari buku "Perempuan dan Belis" di Bappeda Sumba Timur. Sayang, belum sempat membeli buku tersebut, rombongan kami harus segera kembali ke Jakarta.

Di Sumtim ini saya juga diperlihatkan tanaman "Sentigi" yang tumbuh liar di tepi jalan. Konon, di Jakarta, harga tanaman ini bisa mencapai 20 jutaan! hii...permainan apa pula ini....pohon liar kok jadi mahal banget ya...masak ongkos kargo sampai segitunya...wakakakak...

Sungguh, saya sangat terkesan dengan bumi Sumba ini, terkesan dengan kehijauan padang rumputnya, dengan keramahan orang-orangnya dan keunikan budayanya. Jika umur masih ada, pastinya kunjungan saya ini tak akan menjadi kunjungan yang pertama dan terakhir. Mudah-mudahan April saya bisa ke sana lagi, untuk mengetahui kondisi real yang sesungguhnya, karena sungguh, Sumtim yang saya kunjungi kemarin ini, betul-betul unbelievable...