Friday, March 13, 2009

I'm at peace with life

As a person who has life like a roller coaster (lots of ups and downs in quite short time), I have now set my heart in a neutral mode.

This way, life would feel fine, not glamorous, nor pathetic. Convenient, but still full of hope.

I don't know whether this is called as maturity, or just a self defense effort to avoid the emotional shock that has ever ruined my life.

Back then, I was very emotional, highly sensitive and terribly selfish. In wrong direction, I could be dangerous and deadly (in term of mental-killer).

But those days are over now.

I found that life is not about winning things. It's more about achieving and sharing. At the end, no one would be happy by defeating or hurting other people. Especially if they were persons that love or used to love us.

and one more thing, I realize more and more, that happiness is only real when it is shared.

Monday, March 2, 2009

Kelabu

Hari itu langit begitu mendung, sinar matahari seakan harus berupaya keras menembus awan hitam tebal yang menggantung di langit. Sebuah tenda didirikan di depan rumah bercat putih. Orang-orang, kebanyakan lelaki, menggotong-gotong kursi plastik yang baru saja dipinjam dari sebuah musholla. Beberapa anak usia tanggung tampak berdiri di salah satu sisi tembok. Tak lama kemudian, gerimis turun dan orang-orang terlihat mempercepat pekerjaan mendirikan tenda. Beberapa perempuan menaruh baskom-baskom putih di atas meja di teras rumah itu, lalu menutupinya dengan kain serbet putih bermotif kotak-kotak. Seorang lelaki setengah baya duduk di sebelah meja itu sambil mengepulkan asap rokoknya. Pandangannya menerawang, menatap asap-asap cendawan yang dibuat oleh bulatan-bulatan bibirnya. Suasana temaram di pagi hari ini. Langit semakin gelap.

 

Perempuan berbaju hijau itu memasuki rumah itu. Kerudungnya berwarna hitam, menempel sekenanya di kepalanya. Ia menundukkan kepalanya  kearah orang-orang yang tengah mengobrol di bangku-bangku plastik di bawah tenda, lalu perempuan itu  memasuki teras yang terisi penuh oleh orang-orang yang juga asyik mengobrol. Meski nampaknya semua orang tengah berbicara, suasana ramai tidak begitu terasa, hanya ada kemuraman tercetak di dinding-dinding rumah, seolah-olah hanya ada dua atau tiga orang saja yang berbicara.

 

Perempuan itu memasukkan sebuah amplop berwarna putih ke dalam baskom, lalu menutupnya kembali dengan serbet putih kotak-kotak. Ia memasuki ruang tamu, dimana di situ terbujur sesosok jenazah anak kecil yang ditutupi kain batik dan kain putih dibagian kepalanya. Sepintas ia menoleh ke arah jenazah itu, kemudian dengan canggung ia melangkah ke dalam ruang tengah yang sudah dipenuhi oleh banyak orang. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan setengah baya, tengah duduk di atas lantai beralaskan tikar plastik. Tiba-tiba seorang perempuan tua dengan sanggul besar yang tidak tertutup kerudungnya menyentuh bahunya, lalu menunjukkannya arah ke sebuah kamar bergordyn kuning kecoklatan. Perempuan baju hijau itupun mengikuti arah yang ditunjukkan, dan masuk ke dalam kamar berukuran 3x4 meter itu. Di dalam kamar itu ada ibu dari anak yang jenazahnya tergeletak di ruang tamu tadi, tengah berbaring di atas tempat tidur, dikelilingi oleh lima orang perempuan. Salah satunya duduk di samping kepala sang ibu dan sesekali mengucapkan kata-kata dalam bahasa Arab yang kemungkinan besar adalah doa-doa. Si baju hijau mendekati sang ibu lalu duduk di sebelah kaki-kaki yang terbungkus kaus kaki abu-abu. Tubuh sang ibu sedang demam tinggi, dan si baju hijau memijit-mijit kaki sang ibu..

Anakku...anakku...

Sang ibu terus saja memanggil anaknya, matanya terpejam. Tidak ada air mata, namun ia terus saja mengucap...

Anakku....anakku...

Seorang perempuan pecah tangisnya...ia tak sanggup melihat pemandangan ini lalu keluar dari kamar tersebut.

Kesedihan bagai tangan-tangan maya yang mencekik leher semua orang. Tak ada yang berbicara, semua tertegun. Betapa kesedihan dapat membuat segalanya tak berarti. Di kamar ini waktu seakan berhenti.

 

Yang tabah, Bu haji...

Ikhlaskan...

Dia sudah diambil pemilikNya...

Satu persatu mengucapkan kata-kata penghiburan, tidak penting berpengaruh atau tidak, karena tanpa kata-kata, suasana muram itu semakin menghisap udara.

Perempuan berbaju hijau tertegun. Ia tak mampu berkata apapun, hanya lekatkan pandangan pada mata sang ibu yang terpejam, kepedihan yang tertuang dalam wajah pucat tanpa ekspresi, sejenak membuatnya tercekik.

Aku harus keluar dari sini, pikirnya.

 

Lalu ia pun keluar.

 

Di ruang tengah, suasana juga muram, namun beberapa orang ada yang mengobrol sambil tersenyum sedikit-sedikit. Perempuan berbaju hijau bertanya pada orang disebelahnya, penyebab kematian si anak yang terasa begitu mendadak.

Tergilas kontainer, jawab sebelahnya.

Anak itu hendak turun dari kontainer yang ditumpanginya, bersama teman-temannya. Mereka habis menonton bola di stadion sepakbola baru. Namun anak ini, tidak seperti biasanya, tidak pamit pada ibunya, sehingga tidak mendapat uang. Jadi mereka menumpang apa saja.

Kontainer? Tanya si baju hijau.

Pulangnya iya, berangkatnya saya tidak tahu. Saat melompat turun, tidak seperti anak lainnya yang turun dari bagian belakang kontainer, anak ini lewat samping. Sepertinya ia belum terlalu terbiasa menumpang kontainer, sehingga terpeleset dan jatuh. Lalu tergilas ban kontainer.

Langsung meninggal di tempat?

Tidak tahu. Kepalanya pecah.

 

Mereka semua menghembuskan nafas. Hening sejenak.

 

Semua orang menatap jasad terbujur di sudut ruangan seberang mereka. Tiada seorangpun yang berani membuka penutup kepala jenazah itu, kemungkinan besar semua telah mendengar kabar kematian sang bocah yang tragis.

 

Tetapi saat datang ke sini dari RSCM, kepalanya sudah dijahit, ujar seorang ibu.

Sudah tidak menyeramkan.

Tidak menyeramkan, pikir perempuan berbaju hijau. Tapi ia memilih untuk tidak melihat saja. Ia memiliki keponakan seusia anak itu, 10 tahun. Dan ia tidak dapat membayangkan seandainya yang terbujur itu adalah keponakan yang disayanginya.

Tubuhnya langsung terasa lemas.

 

Seorang perempuan muda melewatinya, membawa sekantung plastik bunga-bunga segar. Ia mengulurkan kantong plastik tersebut ke arah perempuan tua di sebelah si baju hijau.

Tolong dirangkai, ujarnya.

Lalu tanpa dikomando semuanya merubung ke tempat kantung plastik itu ditaruh, mengeluarkan bunga-bungaan, jarum dan benang. Ada yang membetulkan kelopak bunga, ada yang langsung menyusun bunga-bunga sesuai kekontrasan warna.

Perempuan berbaju hijau diam saja.

Ia memikirkan sang ibu di kamar yang masih mengeluarkan suara, sayup-sayup kedengaran,

Anakku...anakku...

Lalu diam beberapa menit.

Lalu terdengar lagi,

Anakku..anakku..

 

Gerimis sudah berhenti. Namun langit masih tertutup mendung. Perempuan berbaju hijau melangkahkan kakinya ke luar rumah duka itu. Dadanya sesak, perutnya bergejolak. Dari tadi ia menahan air matanya agar tidak jatuh.

Ia melangkahkan kakinya ke rumahnya, tak jauh dari rumah duka bercat putih itu.

Hanya 8 rumah saja jauhnya.

 

Serasa berat kakinya, serasa tak ingin ia pulang ke rumahnya, namun lebih tak ingin ia tetap berada di rumah yang telah menghisap habis energinya itu. Ia merasa sangat lelah, namun ia tak tau harus kemana lagi.

Tadi malam suaminya baru saja menelponnya dari sebuah kota di Jawa Tengah. Dengan panik, suaminya mengabarkan bahwa ia harus berada jauh dari Jakarta dulu untuk sementara.

Karena truk kontainernya baru saja melindas kepala seorang bocah tanggung, katanya.

 

Tak lama mendungpun hilang, matahari bersinar, meski dengan sinar lembut, seolah langit telah menerima kepergian sang bocah berumur 10 tahun yang tergilas truk kontainer tadi malam.

 

 

Jakarta, Februari 2009