Monday, January 21, 2008

MALL


Goenawan Mohammad
Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007.
>

Jika anda berdiri di salah satu sudut Senayan City , anda akan tahu
bagaimana malam berubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan yang
luas dan disejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah putus.
Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod
ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu
memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga. Sepuluh, bukan,
lima tahun yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga dunia, juga kenikmatan dan kegawatannya.
>
Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu mall di Jakarta
, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa mega-kilowatt
listrik dikerahk an untuk membangun kenikmatan yang tersaji buat saya
hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, pada suatu hari di Tokyo,
di tepi jalan yang meriah di Ginza , teman saya, seorang arsitek
Jepang, menunjukkan kepada saya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang.
>
"Tahukah Tuan," tanyanya,
>

"Jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di seluruh
Jepang?" Saya menggeleng, dan ia menjawab, "Jumlahnya lebih besar
ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh ."
>

Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya membayangkan
rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah
negeri miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin
jajanan di negeri kaya mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya
tak perlu bagi hidup manusia.
>
Saya merasa bodoh, mungkin
juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi
yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta , dimana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu
seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores .
>

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan
seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta
lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama:
sakit dan kematian.
>
Konsumsi energi berbeda jauh antara
di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras
adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas
bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja
termasuk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin
di Flores atau Bangladesh , orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.
>

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi
ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan
air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair.
Orang India , yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan
mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata
menghabisi 11,4 kW.
>
"Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," kata teman Jepang itu pula,
>
> "terlalu sulit, terlalu sulit."
>

Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya. Saya dengar ia hidup
di sebuah dusun di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah usaha kecil
dengan mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen,
mencoba menanam sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang
ditelan dan dimuntahkan. Tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang,
>
"terlalu sulit, terlalu sulit."
>

Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca
hitungan itu: dalam catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari
seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih dari seluruh emisi di dunia,
sedangkan dari Vanuatu
hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan laut di masa depan akibat cairnya es
di kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di Lautan Teduh itu
dan tak menenggelamkan Amerika.
>

Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga
menghadapi ketidakadilan antar generasi. Mereka yang kini berumur di
atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar
oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka
tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka
yang kini berumur 5 tahun.
>
Dalam 25 tahun mendatang,
kata seorang pakar, emisi C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali
lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang , Australia , Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita?
>
"Terlalu sulit, terlalu sulit," kata teman Jepang itu.
>

Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak.
"Lebih layak" adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus
diperlihatkan mereka yang kaya . Kini satu miliar orang Cina dan satu
miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga
baju Polo Ralph Lauren
dan parfum Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak,
benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang
Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad
lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad
nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi
retak. Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan
begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan
perjalanan tamasya hanya akan jadi benda yang sia-sia.
>

Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala
sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak
akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia tak
membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.
>
Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang
itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk
membeli, dan hidup hampir seperti seorang rahib? Di mall itu, saya
melihat ke sekitar.

Terlalu sulit, terlalu sulit, pikir saya.