Thursday, December 4, 2008

Ptolemy's Gate (The Bartimaeus Trilogy, Book 3)

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Teens
Author:Jonathan Stroud
lembar terakhir selesai dibaca.

Trilogi bartimaeus akhirnya selesai sudah.
Bukan bartymaeusnya yang berakhir, tapi .....

Akhir yang dramatis dan mengesankan. Pantas, karena demikianlah seharusnya a perfect fight ends. Makanya dibilang perfect, karena kedahsyatan pertempurannya (paling tidak itulah yang ingin digambarkan oleh Pengarangnya).

Dalam buku terakhirnya ini, Jonathan Stroud berhasil membuat kisah pembunuhan dan kematian seolah enteng saja. Mengingat banyaknya korban dalam buku ketiga ini, menurut saya ini mungkin jadi children literature yang paling sadis sekaligus paling enak dibaca.*

Barty masih tetap menghangatkan suasana dengan kata-katanya yang pedas dan kocak, sosoknya bahkan lebih manusiawi daripada manusia itu sendiri.

Maaf, Saya gak bisa mereview, benak ini dipenuhi harap Barty akan kembali lagi dalam kesempatan yang lain.


Pal
(yang sedang patah hati ditinggal Barty)


*eh, engga juga sih, saya ga terlalu banyak membaca child-lit semacam ini juga soalnya :-P
tapi emangnya ini child-lit?
apa sih child-lit itu? halah..

The Golem's Eye (The Bartimaeus Trilogy, Book 2)

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Teens
Author:Jonathan Stroud
baca Barty Trilogy memang mengasyikkan.

jika sudah baca buku pertama, mungkin bab-bab awal buku kedua ini agak membosankan...saya ga tau kenapa. Tapi begitu keluar bab berjudul "Bartimaeus"...langsung hilang bosannya..hehehe...susah emang kalo udah cintrong..

Buku Golem's eye ini mengisahkan dua tahun (2 tahun 8 bulan, tepatnya) setelah pemanggilan jin Barty yang pertama. pemanggilan yang membuatku kepincut sama sosok jin yang memiliki selera humor bagus ini.

Ceritanya di flashback sebentar ke masa Praha, saat Barty bertugas di sana, dengan master yang tidak-terlalu-pintar, sekaligus memberikan sedikit informasi tentang penaklukan Gladstone yang hebat atas Praha.
Kemudian bab-bab selanjutnya menceritakan tentang Kitty, salah seorang pentolan anarki nusantara...eh...maaf, kelompok Resistance, maksud saya ;-), yaitu kelompok anti penyihir yang para anggotanya justru memiliki spesialisasi tertentu dalam mengatasi ilmu persihiran. Sehingga boleh dikata, buku ini menceritakan latar belakang, sebab musabab dari kekacauan yang melanda London, the great empire of witchcraft.

Jika di buku pertama, Amulet Samarkand, Nathaniel digambarkan Barty sebagai penyihir yang berkarakter, di buku kedua ini, Nat telah berubah menjadi penyihir sebagaimana yang lainnya,yang ambisius, angkuh, pemalas, egois dsb, sehingga kadang barty dibuat jengkel oleh sikap Nat. (Yah barty, namanya juga abege, masih dalam masa pencarian kali ya...kan masih 14 tahun..)

Alur cerita masih tetap mengasyikkan, kadang sedikit menyeramkan, secara saya baca buku ini sekitar tengah malam, serasa agak merinding gimanaa.... gitu (mungkin di belakang & samping saya ada sesosok imp atau foliot jail yang meniup-niup tengkuk dan lengan saya..hiiiiyyy)
Tapi asal ada Barty sayang di dalam babnya, dijamin, mata yang kebanyakan zat besi (berat, maksudnya) langsung enteng lagi..hehehe...

Masih ada kejar-kejaran a la Barty yang tentu saja selalu dimenangkan olehnya...(ada satu bagian dimana si barty malah heran sendiri, saat menyadari bahwa dia yang mengejar musuhnya, bukan sebaliknya, karena memang selama ini dia yang selalu dikejar-kejar..hehehe)

Secara keseluruhan sepertinya kita diajak untuk menyaksikan proses pendewasaan Nathaniel (let's check the book 3 :-P), si penyihir yang hebat (ngngng....yah mungkin 80% kehebatannya dibantu sama jagoan kita, Bartimaeus..) yang tentu saja, si Nat ini banyak kekurangannya (please guys, bayangkan saja, dia kan ga punya orang tua...tolong maklum kalau kelakuannya jadi menyebalkan gitu)

Tapi intinya, mulai ada sedikit kekecewaan Barty terhadap masternya ini. terbukti dengan kata-kata perpisahan terakhirnya Barty, dimana ia mengatakan bahwa mulai saat itu ia memanggil Nathaniel dengan nama penyihirnya: Mandrake. Sindiran tajam khas Barty, yang sayangnya, tidak disadari oleh Nathaniel yang sedang dimabuk kekuasaan.

well, well, well, setelah mengatupkan buku ini, kenapa ya ada perasaan ga enak di batin saya??

The Amulet of Samarkand (The Bartimaeus Trilogy, Book 1)

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Teens
Author:Jonathan Stroud
(review seorang teman)

Cerita berawal dari kisah seorang anak kecil yang karena kepolosan dan sifat kekanak-kanakannya, tanpa sadar melibatkan diri pada sebuah konspirasi berbahaya. Karena tak terima atas perlakuan yang dia terima, Nathaniel memanggil jin berusia 5000 tahun-Bartimaeus- dan memerintahkannya untuk mencuri amulet samarkand milik Simon Lovelace.

Plot cerita yang berjalan cepat serta kepandaian penulis dalam menggunakan sudut pandang orang pertama sangat menarik. Cerita ini menggunakan dua sudut pandang orang pertama, yaitu dari sisi jin Bartimaeus serta dari sisi sang Master Nathaniel. Secara bergantian sang penulis menggunakan kedua sudut pandang ini. Hal ini membuat pembaca menjadi lebih dekat dengan karakter tokoh utama, seperti memang yang biasa terjadi pada pendekatan orang pertama. Dengan alur cerita yang tidak rumit dan mudah dicerna, membawa kita masuk ke dunia khayalan Jonathan Straud. Membuat kita membayangkan sihir, makhluk halus dan semacamnya.

Mungkin banyak orang yang sudah sering mendengar ataupun membaca buku-buku dengan latar belakang sihir sebelumnya. Contoh paling sukses adalah serial Harry Potter yang menuai kesuksesan besar di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi jangan anda mengharapkan gambaran dan kesan yang sama. Lupakan semua gambaran anda tentang sapu terbang, topi kerucut penyihir, tongkat sihir, penyihir bijaksana berjanggut putih kelabu, unicorn dan semacamnya.

walaupun intinya adalah kisah petualangan, tetapi tidak dibawa terlalu serius. Banyak adegan-adegan lucu, konyol dan menggelitik. Kadar kenarsisan si jin yang amit2, Pertengkaran-pertengkaran yang membuat tertawa serta dilengapi dengan catatan kaki ala karya ilmiah. Ini semua akan membuatmu jatuh cinta pada kekonyolan jin narsis tanpa tara –Bartimaeus- . Mau tahu ending ceritanya?? Hohoho…baca aja sendiri :P

(review sendiri)

I immediately love Bartimaeus just when I read the first chapter, especially, in the beginning, when he's pulled to this world and trying to scary the little boy with a vision...

what a genius Mr. Stroud, to speak in a Genie's amazing point of view...

(yah...emang ga kreatip ya review akuwh..)

Tuesday, December 2, 2008

Touching The Void

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Joe Simpson
Sungguh bersyukur bulan November ini saya kebanjiran buku-buku bermutu.

Salah satunya adalah buku ini. Touching The Void adalah kisah mengenai pendakian di pegunungan Andes, Peru, yang dilakukan oleh Simon Yates dan Joe Simpson. Sesungguhnya pendakian berlangsung sempurna dan mereka sempat mengambil gambar-gambar yang menakjubkan sebelum akhirnya kelelahan.

Hawa dingin dan cuaca yang tak menentu juga ikut menentukan nasib mereka. Simon terserang frostbite yang cukup parah pada jari tangannya, sementara Joe telah mengalami kelelahan akut. Hingga saat mereka memutuskan turun, energi dan fokus yang ada pada mereka sudah berkurang drastis.
Sementara, jalur turun ternyata lebih sukar daripada pendakian. Dengan kecepatan yang menyedihkan dalam kondisi cuaca yang menyeramkan, mereka berdua menyusuri jalur yang terjal dan berbahaya, penuh salju yang rapuh dan tidak terduga.

Saat Joe mengalami kecelakaan terjatuh ke jurang dan mengalami patah kaki, (maaf ini bukan spoiler karena memang ada di cover belakang :D), yang merupakan vonis fatal (baca:kematian) bagi para pendaki, Joe merasakan penyesalan karena merasa akan menjadi beban bagi Simon, sementara Simon, antara iba dan berat hati mau tidak mau harus menolong rekan sependakiannya. Namun mereka berhasil melakukan kerjasama yang baik dan kompak, sehingga mampu menuruni gunung sedikit demi sedikit, meski sangat menyakitkan buat Joe.

Tapi ternyata musibah belum berakhir, karena saking antusiasnya Simon menurunkan Joe dengan tali (di luncurkan dari atas dengan tali sepanjang 90 meter), mereka tidak menyadari bahwa ada jurang terjal di depan Joe. Akhirnya dapat ditebak, Joe terjatuh ke jurang sedalam (...berapa ya? 35 meter mungkin) . Saat terjatuh, mereka berdua masih saling terikat pada tali di masing-masing tubuh, yang menyebabkan Simon ikut tertarik ke arah Joe.

Dalam kondisi badai salju dan lawina (longsorang bola salju), kelelahan dan frostbite parah, tentu saja Simon tak akan sanggup lama menahan berat tubuh Joe, apalagi menolongnya. Dalam keadaan itulah Simon memutuskan memotong tali yang menahan Joe.

Simon tahu bahwa tindakannya secara moral tidak patut, namun ia juga tahu bahwa ia tak akan dipersalahkan oleh orang ataupun hukum karenanya. Karena itulah, ia memotong tali dengan keyakinan bahwa Joe sudah mati (kalau tidak, pasti akan mati) di dalam jurang tersebut.
Lalu ia menengok jurang tempat Joe terjatuh dan memastikan bahwa tidak ada tanda-tanda Joe dapat selamat.

lalu ia pergi meninggalkan Joe dengan perasaan berkecamuk.

Teman-teman,

Mulai dari sini dimulailah petualangan yang mendebarkan. Perjuangan antara hidup dan mati seorang Joe Simpson yang tidak pernah menyerah pada keadaan. Perjuangan seorang anak manusia yang tidak berhenti mendengarkan suara hatinya, meski dalam kondisi yang tereamat-sangat tidak mungkin-kaki sebelah kanannya patah dan lututnya remuk-plus-cuaca ekstrem.

Saya tidak akan bisa menggambarkan sebaik Joe sendiri yang telah dengan begitu detailnya menulis pengalamannya di buku ini. Deskripsinya begitu detail, seolah-olah kita sendiri turut mengalami penderitaannya. Strategi2 yang digunakan para pendaki beserta alat-alat yang digunakanpun diuraikan dengan sangat baik.

Baca deh!

Ada satu kesimpulan yang cukup mengejutkan, dimana setelah dianalisa faktor kesalahan apa yang menyebabkan mereka mengalami kegagalan penurunan, ternyata sepele. Mereka kurang membawa gas untuk keperluan memasak air! Mereka hanya membawa secukupnya saja, dengan asumsi tidak akan lama mendaki. ternyata akibat kurangnya persediaan gas tersebut, mereka jadi terburu-buru dan kurang konsentrasi. Akibat yang fatal harus dialami.
Konflik batin, luka fisik, dan pengalaman menyedihkan selama berada di gunung es.

tapi begitulah hidup, karena jika tidak mengalami kecelakaan ini, Joe Simpson mungkin tidak akan menjadi pebisnis sukses seperti sekarang ini!

C'est La vie.

Tuesday, November 25, 2008

Garuda Pancasila ala Faza




Gara-gara buku Mencari Telur Garuda, si Faza jadi gandrung menggambar burung garuda...sampai saat ini bukunya sendiri hilang entah kemana, akibat disembunyikan Faza (tiba-tiba dia lupa naruh dimana)

masih banyak sebenernya versi yang lebih aneh, cuma masalahnya dia menggambar di media mana saja, termasuk media yang tidak terbayangkan..

Mencari Telur Garuda

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Nanang R. Hidayat

Bagi yang belum membaca buku ini, maka ada baiknya saya kasih bocoran sedikit.

Buku ini adalah hasil dari keprihatin saudara-saudara kita atas fenomena hilangnya wujud "ideologi" bangsa, baik secara material maupun spiritual, yang karenanya, patut mendapat ucapan terima kasih dari kita semua. (mungkin sekalian sama undangan makan-makan..hahaha...hush!)

Padahal kita semua musti paham, bahwa ideologi bangsa adalah satu hal yang substantif, karena digali dari falsafah dan budaya bangsa yang ada turun temurun ditambah ide dan cita-cita yang diharapkan oleh para pendiri bangsa.

Bukankah begitu, sodara-sodara? (hehe...takut ditimpuk sama mas Anto nih)

Nah buku ini mencoba menyampaikan keprihatinan tersebut, dimulai dari sejarah terpilihnya burung Garuda itu sebagai lambang negara dan Pancasila sebagai ideologi negara. Perkawinan keduanya menghasilkan bentuk yang unik, yaitu sebuah sosok burung garuda menengok ke kanan (kenapa kanan? ya baca aja sendiri) dengan komposisi bulu-bulu yang disesuaikan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia dan yang paling menyolok adalah perisai Pancasila yang senantiasa menghias dada Garuda kesayangan kita itu.

Jika di tahun 80-an masa Orde Baru sosok Garuda Pancasila ini mendapatkan masa keemasannya, tidak demikian halnya sekarang. Meski masih tetap menghiasi setiap dinding di sekolah dan gedung-gedung perkantoran, Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang ini seperti kehilangan ruh-nya. Sehingga beberapa kali pernah diselenggarakan seminar, pentas seni maupun rubrik di surat kabar dsb yang menampilkan kisah sedih Sang Garuda Pancasila.

why??? why???

jawabannya ada di lubuk hati yang terdalam...(wuaa...beraaatss...)

Meski sebenarnya permasalahan yang ditampilkan adalah serius (ini lambang negara kita, Bos!), tapi disampaikan dengan cara yang semi santai dan dilengkapi dengan foto-foto patung Garuda Pancasila di beberapa daerah serta gambar-gambar garuda pancasila dalam berbagai persepsi masyarakat (termasuk anak-anak) atas lambang negara tersebut.

yang serius banget sih Kata Pengantarnya, memang...huehuehue..
(keyknya bener-bener ditimpuk mas Anto nih...)

kata orang pinter mah: "Thoughts become things"
kata Bung Karno: "Jas Merah"

maka, marilah kita semua kembali menghayati dasar-dasar negara kita tercinta ini, mengingati lagi perjalanan bangsa kita, dan semakin mencintai negara kita ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya, menggali potensi diri demi tercapai cita-cita bangsa, yaitu masyarakat adil makmur sentosa yang gemah ripah loh jinawi...amin...

Hidup Indonesia!!! Merdeka!!! save the planet!!! Go green!!!


Nah ini review yang lebih serius...milik seorang teman (http://www.goodreads.com/review/show/37230226)

Th 2006 lalu saya terlibat cukup intens dlm acara Restorasi Pancasila, simposium nasional di UI yg gongnya adalah Pidato Pancasila oleh Presiden SBY di Plenary Hall Balai Sidang Jakarta Convention Center 1 Juni 2006 dan pembacaan Maklumat Keindonesiaan.

Rangkaian acara ini adalah upaya utk mengembalikan Pancasila sbg dasar negara kita, stlh disandera dan diberi penafsiran tunggal oleh Orde Baru yang membuat Pancasila seakan identik dg Orba dan pantas ditanggalkan pasca reformasi 1998. Uniknya bbrp aktivis yg menggarap acara ini adl org2 yg dulu pada th 1990-an sempat membuat smacam newsletter berlogo Garuda Pancasila dipanah (!) sbg protesnya thd rezim Soeharto.

Reaksi yg saya terima dr bbrp pihak saat penggalangan acara ini maupun sesudahnya, sama persis dg yg ditulis Nanang di pendahuluan buku ini: "Hare gene ngomongin Pancasila?" (h.1) Namun kenyataan belakangan ini membuktikan Pancasila ttp aktual dan penting utk dibicarakan.

Buku Nanang ini sendiri adalah salah satu upaya pembicaraan itu, dg memfokuskan pd soal visualisasi Garuda Pancasila (bgmn sejarahnya dan bgmn ia ditafsirkan dlm konteks lokal-partikular). Ini penelitian mahapenting, bukan cuma buat kita di sini tapi juga layak diinggriskan dan dipasarkan di studi2 Indonesia di universitas luar, namun dg sejumlah perbaikan. Maka kritik/masukan yg saya tulis sebaiknya dibaca dlm kerangka perbaikan tsb.

Soal penulisan
Nanang menggeluti dunia visual dan tafsiran2 yg diberikannya thd visualisasi Pancasila di buku ini bertolak dari bidangnya tsb, namun tak ada salahnya ia dibantu seorg penulis yg berlatar sejarawan/peneliti sosial utk memperdalam uraiannya. Saya pikir bbrp kutipan dari milis tak layak masuk krn hanya berdasarkan omongan (h.31-32), begitu juga ucapan Widyatmoko ttg pencetus sayap 17 helai, ekor 8 sisik dsb (h.36), atau uraian ttg logo Republik Mimpi "Konon kata perancangnya" (h.51, hrs disebutkan perancangnya itu siapa juga sumber otentik pernyataan tsb). Apalagi rujukan 'omong kosong' ttg organisasi internasional bernama International Illumination dan Luciferians Corp (h.79-80) bikin buku ini berkurang kesahihannya.

Jadi intinya: bbrp poin perlu diperdalam dg data. Karya nonfiksi bisa ditulis dg gaya paling serius sampe paling nyeleneh. Terserah, tapi data tetap penting. Misalnya h.49 saat Nanang mengkaitkan gapura Pancasila aneka warna di kampung2 dg kemenangan partai tertentu di kampung tsb. Nah ini saya kira perlu ada data riil hasil pilkada/parpol dominan di kampung tsb dan bukan cuma tafsiran. Begitu juga dg h.47 saat membahas gapura Pancasila hanya dg 1 sila di "gang di sekitar kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta". Mungkin perlu ada wwncara dg ketua RT atau warga.

Editor jg perlu lebih teliti. Masa yg begini2 lolos dari pantauan sih: blad eagle (h.10), multiple chois (h.38)

Soal tata letak
- Buku ini dimaksudkan sbg buku visual, tapi sayang bbrp foto yg dibahas/dianggap penting justru dipasang dg ukuran kecil (buku ini memang terbit dlm 2 edisi. Kata Miaa, yg HC lebih besar dibanding edisi SC yg saya baca ini, tapi bukan itu poinnya. Bbrp foto semestinya dipasang sebesar 1 kolom penuh dan bukan cuma nyempil di antara teks), misl. foto h.47, 2 foto dahsyat di h. 41, foto atas sisi paling kanan h. 14 dsb.

- Sbg buku visual, buku ini mengandung cacat banyaknya foto tanpa caption (keterangan letak dan tanggal pemotretan), apalagi di hlm khusus foto 115-133. Keterangan ini menurut saya esensial utk memahami visualisasi garuda itu dlm konteks sosialnya.

Beberapa hal yg jadi pikiran saya
1. Soal mengapa Garuda menghadap kanan? Nanang mmberi penjelasan bhw ini semata2 kebiasaan bangsa Indonesia bhw kanan dianggap baik sementara kiri sial, jahat, serong. Namun dlm konteks politik masa2 Revolusi, mengganggap kiri sial, jahat, dan serong tentulah tidak mungkin secara politik. Bahkan kabinet Ind saat itu pun bernama Koalisi Sayap Kiri. Jadi menurut saya penjelasan Nanang kurang memadai. Pasti ada alasan lain mengapa Garuda menghadap kanan. Di sini dibutuhkan campur tangan sejarawan. Bisa jadi –-dan saya duga demikian—- justru tidak ada penjelasannya. Gambar itu terjadi begitu saja hanya krn kebiasaan kita menulis dari kiri ke kanan.

2. Sehubungan dg poin no. 1 ini, Nanang juga tidak menjelaskan foto sangat penting yg dipajang besar2 di h.40: garudanya menghadap kiri! Foto gapura yg tanpa keterangan ini jelas butuh pembahasan khusus, serta wawancara dg warga atau ketua RT dsb.

3. Soal transformasi logo Garuda dan tak adanya penjelasan lengkap ttg siapa saja anggota Panitia Lencana Negara (h.19). Saat itu Pancasila sudah dirumuskan, tp dlm visualisasi perisai di versi 1 kita tak melihat adanya lambang bintang (Ketuhanan) dan silanya pun cuma 4. Dlm versi 2 padi dipisah dg kapas dan bintang tetap ga ada. Pada versi 3, 'Bhinneka' masih tertulis 'Bhineka'. Menjadi tugas penting utk membongkar arsip ttg anggota panitia ini dan perdebatan2 di dlmnya sehingga transformasi ini bisa dilacak asal usulnya.

4. Saya baru tahu kalau logo Republik Mimpi itu dimaksudkan untuk menggambarkan "semangat saling menghormati dan mempersilahkan orang2 utk maju" krn sayapnya yang menekuk seolah "sedang mempersilakan kita untuk berjalan di samping kirinya" (h.51) Saya selalu menyangka logo itu menggambarkan si burung sedang menguap krn ngantuk (Rep Mimpi kan?)

5. Apa mata saya salah liat? Garuda di h.119 sepertinya sedang menghisap pipa cangklong!

6. Foto h.121 kiri atas sepertinya memang bukan berniat bikin Garuda deh, tapi ayam yg emang banyak dipasang di jam (ketularan budaya Eropa) sbg tanda 'bangun pagi'

-----

Penelitian Nanang ini perlu diperluas. Saya pikir pemerintah juga berkepentingan dg proyek ini dan wajib mendanainya. Kita perlu tahu dengan jujur bgmn Garuda (yg dicomot dari mitologi Hindu/India dan didasarkan pada elang jawa) dipersepsi oleh org di Papua atau Aceh misalnya, pada masa2 pembentukan RI, masa Orba, sampai masa skrg yg punya sejarah kelam dg kekerasan militer berdasarkan Pancasila steril dan Jawanisasi ala Orba.

-----

Terakhir, saya ajak temen2 vote gambar Garuda versi anak2 SD mana yang jadi favorit? Saya vote karya Arif GS (h. 94 kiri atas) karena berani meletakkan pita Bhinneka di belakang garudanya. Saya juga vote karya Merizka (h.95 kanan atas) karena gambar burung dan bantengnya senyum2

Monday, November 24, 2008

unek-unek

1. Dengan kerusakan alam yang telah dibuat oleh salah satu anak perusahaannya, Abu Rizal Bakrie tetap jadi menteri dan tetap jadi salah satu orang terkaya di Indonesia

2. Meski sudah beberapa kali tabung gas "melon" yang (notabene merupakan program pemerintah) mencabut nyawa dan melukai manusia, pemerintah tidak pernah bertindak apalagi ngasih ganti rugi

3. tidak ada yang menuntut PLN atas kebakaran yang disebabkan atas lilin (gara2 listrik mati)

4. Banyak permasalahan sosial yang terjadi gara-gara banyak suami/bapak yang meninggalkan istri dan anak2nya tanpa tanggung jawab, dan pemerintah tidak pernah bertindak

5. di beberapa daerah, kondisi hidup PNS jauh lebih makmur daripada masyarakat yang dilayaninya

6. apa lagi yah, entar kalo inget lagi ya...
 

Thursday, November 20, 2008

Segelas Beras Untuk Berdua

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Sindhunata
(review favorit saya, milik seorang teman)

Memulai...

Membacanya saya menyepakati anjuran Ki Ageng Banguntapan. Membacalah dari yang paling suka. Biarkan hatimu bicara untuk persoalan yang konon penuh dengan kesempitan.

Memulakannya dari cerita pertama, ah...tak tahan saya. Menarik napas barang sebentar. Mana ada yang lebih miris dari pandangan syahdu merindu bulan dari sepasang mata yang tidak lagi bersahabat dengan cahaya? Mana ada yang sanggup menahan keromantisan sepasang buta dari lereng Merapi, Mbok Tukinem dan Pak Suwito.

Bab berganti, bab terlewati. Tak semuanya air mata. Tak semua yang papa adalah mulia. Tapi dari mereka pun masih bisa dipetik pelajaran. Kesempatan bukan hanya ada dalam kelapangan. Kesempatan adalah sebuah pilihan, meski itu dalam kesempitan.

Dari yang mulia, kita bisa tahu bahwa Tuhan melapangkan mereka yang sanggup senyum di tengah kesempitannya. Jembar hati. Nrimo ing pandum.

Untuk Mbok Tukinem dan Pak Suwitoutomo, sebaris tembang dari Bang Iwan,

Jalan berdampingan
tak pernah ada tujuan
Membelah malam
mendung yang selalu datang
Ku dekap erat
Ku pandang senyummu
dengan sorot mata
yang keduanya buta
Lalu kubisikan sebaris kata-kata...

Gusti paringono sabar lan sapi...:D

Nggeh Mbok, saya ngguyu, saya tertawa untuk diri saya. Tertawa miris betapa saya miskin untuk laku nrimo dan jembar hati yang mbok miliki.

Saya tak mau berlagak sedih dan punya segudang kasihan untuk orang semacam Mbok Ayu Tukinem. Mereka jauh lebih kaya dengan sagon bertabur cinta, nrimo dan kejembaran hatinya. Jangan-jangan, kasihan dan air mata yang hendak menitik adalah sebentuk iri akan kekayaan mereka yang tak mampu dibeli kecuali dengan laku. Satu-satunya kefakiran mBok Ayu Tukinem adalah dihadapan-Nya. Bukan di depan dunia.

Yo ngguyu meneh, dilanjut bacanya!

*Ampe di Garcia Lorca*
Sampai beberapa bab terakhir setelah lompat sana-sini saya memerlukan untuk istirahat. Terharu? Mungkin. Walaupun sempat menemukan sebuah kata "kasihan" terserak yang menurut saya salah tempat (hal. 35). Saya lebih menikmati geguyon dan nasehat dalam tulisan tentang Bruder "Bagio" Reso. Gembira dan sedih demikian cepat berganti dalam ceritanya. Senyum yang hadir di wajahnya adalah buah pesan neneknya, "Le tansah nyoba gembira ing dria, sumunaring surya, yen wis ngana, atimu dadi ayem, gampang bisa mesem (Nak cobalah selalu gembira di hati bercahaya di wajah, agar hatimu bisa menjadi tentrem, mudah tersenyum)."

Kacamata yang digunakan memang kacamata keharuan, kekaguman perjuangan di tengah kesempitan. Kesempitan yang bisa melanda siapapun, Putri Diana yang selalu disorot kamera, pengabdi kemanusiaan semacam Bunda Theresa yang terdampar di surga bernama Kalkuta, atau bahkan Nenek Aminah, pengayuh rakit di Kali Bekasi. Semua nilai kemanusiaan dalam cerita-cerita dalam buku ini bermuara seperi apa yang diucapkan oleh istri Mbah Setro, "Masak kalau kami diberi bingkisan yang ada ikan ayam-nya kami tega memakannya begitu saja?" Matematika kemanusiaan bermuara pada berapa yang kita berikan bukan berapa yang kita terima, begitu Mbok Khatijah seolah menjawab kenapa ia mesti menyumbang Rp 20.000 hingga Rp 25.000 untuk setiap hajatan.

Saya malah jadi ngungun sendiri, bukan untuk mereka yang ada di cerita itu. Tapi untuk diri saya sendiri. Berapa banyak cerita orang biasa yang bersliweran di sekeliling saya yang batal saya kenang atau catat. Betapa sebenarnya pelajaran itu pating-sliwer di depan mata sementara saya cuma bengong tak peduli. Cerita yang sebenarnya sering kita temui disetiap hilir-mudik saya, tapi terlewat entah karena apa.

Yah, saya kagum dengan sentuhan manusia pada setiap cerita itu. Bahwa untuk menjadi manusia (wong) adalah karunia yang dinikmati setiap manusia besar dan kecil. Bukan cuma kisah kaum besar yang mengubah sejarah, karena sejarah itu milik orang banyak. Persoalan korupsi sejarah, seperti dagelan cum kritik Pak Guno di depan para sejarawan, kiranya akan bisa dikurangi jika banyak suara "kaum marginal" juga punya tempat memadai dalam sketsa besar ruang Sejarah Indonesia. Saya malah merasa cukup disentil ketika Sindhunata menulis tentang Pak Chondro yang tukang reparasi radio tabung menjelang Hari Radio. Untuk sebuah peringatan, profesi Pak Chondro yang nyaris punah seiring perkembangan teknologi adalah sebuah bagian besar yang jarang tercatat. Ketika Sindhunata menulis Pak Chondro, tulisannya adalah tulisan tentang radio dan kemanusiaan yang hidup di sekitar radio.

Sejarah adalah persoalan mencatat, sejarah individu adalah persoalan mencatat dengan kepekaan untuk menelusup ke relung kemanusiaanya.

Bila konon, Ronggowarsito pernah berujar, "mrono-mrene dhurung tau ktemu wong (ke sana-sini belum pernah bertemu manusia)." Ia mungkin perlu bertemu Sindhunata. Pasti ia nanti berucap, "Le, le, kowe kok iso ktemu wong akeh men tho? mbok aku diajarno ben iso ktemu wong(Nak, nak, kamu kok bisa ketemu manusia yang banyak sih? Aku diajarin biar bisa ketemu manusia)." Begitu?

*Tamat*

Sindhunata menulis featurenya yang dirangkum buku ini dalam rentang waktu 11 Februari 1978 hingga 23 April 2005. Sepanjang itu apa yang didapatkannya?

Seorang kawan saya yang hanya sempat menjadi wartawan kontrak di harian Sindhunata menuliskan featurenya pernah menceritakan pengalaman ia diucapkan terimakasih oleh ibu yang anaknya mendapatkan sumbangan darah ketika dirawat di sebuah rumah sakit. Cerita ucapan terimakasih itu rasanya mengalahkan segala getir yang membuat ia tidak bisa melanjutkan profesi kewartawanannya. Teman saya itu bukan lagi wartawan, entah masih menulis pun saya tidak tahu. Kami hanya bertukar kabar ketika ada resepsi dan cit-cet lewat milis yang kami ikuti. Namun cerita itu tanda hidup ketika ia berhasil dalam sebuah tulisannya menyentuh kemanusiaan orang lain. Mungkin tidak sedalam feature yang dibuat Sindhunata, tapi saya tidak lupa antusiasme kawan saya ketika bercerita. "Menyentuh kemanusiaan orang lain ternyata demikian membahagiakan," gumam saya memperhatikan wajah sumringah kawan saya yang baru saja menjadi mantan-wartawan. Demikian juga, menyentuhnya meski lewat bacaan yang dituliskan Sindhunata.

Mengutip semangat yang disampaikan review ini saya hanya ingin berucap, "Selamat mencoba menjadi manusia dan menuliskan kemanusiaan!"

The Notebook

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Romance
Adalah seorang laki-laki tua, yang telah berumur 80 tahun dan tinggal di sebuah panti jompo, memiliki sebuah buku cerita yang kerap dibacakannya kepada seorang wanita (tua juga) di panti jompo itu.

Buku itu menceritakan kisah cinta Noah dan Allie, pasangan berbeda status ekonomi, yang pernah menghabiskan waktu bersama-sama pada liburan musim panas. Noah dan Allie harus berpisah karena liburan berakhir. Akan tetapi, alasan sebenarnya adalah karena keluarga Allie yang berasal dari keluarga kaya menganggap Noah tidak cukup layak untuk menjadi pasangan Allie, meskipun sebenarnya orang tua Allie cukup menyukai Noah.

14 tahun berlalu, Noah dan Allie yang sudah lebih dewasa telah memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Allie telah bertunangan dengan seorang pengacara tampan dan baik hati (tuuh kan, Harlequinn banget), sementara Noah masih terjebak dalam perasaan cintanya kepada Allie yang tak dapat ia lupakan. Meski telah melalui segala hal dalam kehidupannya, salahsatunya adalah perang, Noah tetap tidak dapat melupakan cintanya kepada Allie. Ia membeli sebuah rumah besar di pinggir danau yang pernah sangat berarti dalam sepenggal kisahnya dengan Allie. ia memperbaiki sendiri rumah tersebut hingga keberhasilannya memperbaiki rumah tersebut diartikelkan dalam suatu surat kabar.

Secara tidak sengaja, Allie melihat artikel tersebut, dan iapun kembali dibanjiri kenangannya tentang Noah dan, tentunya, rumah itu. Lalu dengan mantap, Allie memutuskan untuk mengakhiri semua kenangannya dengan Noah, dan mengunjunginya di kota yang pernah dikunjungi pada musim panas 14 tahun yang lalu. Allie akan mengabarkan pada Noah mengenai rencana pernikahannya dengan Lon, lelaki yang dicintainya.

Namun ternyata, saat bersama Noah, Allie terjebak dalam dilema. Ia harus memutuskan dengan siapa ia akan meneruskan hidupnya, Noah atau Lon, keduanya sama-sama mencintainya, dan iapun juga mencintai keduanya.

Lalu siapa yang akhirnya dipilih oleh Allie?

Siapakah cinta sejati Allie, dan apa hubungannya dengan lelaki tua yang selalu membacakan cerita ini pada wanita tua di panti jompo itu?

huhuhu...pokoknya mengharukan!!! siapin tissu 1 box...


The Time Traveller's Wife

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Audrey Niffenegger
Hm, bagaimana rasanya?

Bagaimana rasanya jika baru semenit yang lalu kau bersama-sama suamimu di dapur, memasak makan siang, dan suami mu sedang memotong-motong bawang, dan tiba-tiba..zapp! dia menghilang, secepat itu, meninggalkan dirimu sendirian bersama irisan bawang dan pisau tergeletak di atas meja dapur?

Kau mencoba bersikap seolah-olah itu hal yang wajar, dan berusaha melewatkan hari itu sendirian, menunggu dan berharap ia akan pulang untuk makan malam.

Bagai mana rasanya?

Bagaimana rasanya jika suatu malam engkau sedang terlelap berdampingan dengannya, dan kau bangun di tengah malam mendapati hanya bajunya saja yang tertinggal di sampingmu, dan suamimu entah dimana, mungkin sedang berkeliaran tanpa pakaian dan hanya Tuhan yang tau apa yang akan terjadi padanya, dan kau tak dapat melakukan apapun untuknya?

Bagaimana rasanya?

Seperti itulah kira-kira perasaan yang berangsur-angsur saya rasakan, semakin jauh saya mengenal Clare, the time traveller’s wife.

Clare tumbuh bersama Henry, seorang yang memiliki kelainan genetic, yang menyebabkan dirinya selalu terlempar dari waktu satu ke waktu yang lain. Masa lalu dan masa depan. Meski demikian, Henry selalu berusaha untuk hidup selayaknya manusia normal, dan beruntunglah, ia menemukan Clare, seorang wanita yang sanggup memahami dirinya dan keanehannya itu, yang dicintainya sebesar ia dapat mencintai seorang wanita.

Clare bertemu Henry pertama kali saat usianya 6 tahun, sementara Henry bertemu pertama kali dengan Clare di usia 36 tahun. (Saya pikir hal ini perlu dijelaskan karena kebanyakan orang agak terseret-seret di awal-awal cerita).
Meski masih sangat muda, Clare mampu memahami situasi yang dialami Henry (strong, strong lady) dan merekapun kerap bertemu sepanjang masa kecil dan remaja Clare, sampai akhirnya memutuskan menikah. Hubungan yang dialami memang aneh, tapi inilah yang menciptakan ikatan tak terpisahkan antara mereka.

Ketergantungan, saling membutuhkan.

I guess that what love is all about.

Terlepas dari lompat-lompatnya Henry dari waktu ke waktu yang lain, rumah tangga Clare dan Henry berjalan cukup normal selayaknya pasangan biasa. Henry bekerja di perpustakaan Newberry, dan Clare berprofesi sebagai seniman kontemporer. Mereka melakukan baby-conception dan hang-out bersama teman pasangan mereka (Gomez dan Charisse) yang untungnya dapat memahami keanehan Henry. Akan tetapi Henry tetap berusaha memecahkan persoalan genetisnya dengan mengkonsumsi banyak obat-obatan dari ahlinya.

Ada bagian yang membuat saya teringat kisah Rosemary’s Baby saat Clare menderita kesakitan di masa-masa kehamilannya yang dilalui dengan susah payah (7 kali!). penderitaan, mimpi dan pikiran-pikiran yang ada dalam benak Clare hampir mirip dengan yang dialami oleh Rosemary (Hanya bedanya Rosemary tidak keguguran, dan mengandung bayi setan..ho..ho...)

Secara sederhana, kisah Henry dan Clare sangat berkesan bagi saya, memberi saya pertanyaan-pertanyaan yang terus mengusik, seberapa banyakkah yang dapat saya berikan kepada orang-orang yang saya cintai?
terlepas dari kekurangan yang mereka alami dan hal-hal yang menjengkelkan yang saya terima sebagai balasannya, sejauh manakah saya sanggup mencintainya dengan tulus?
Apakah sudah cukup baik cara saya mencinta? Apakah sudah tepat cara saya menunjukkan kasih sayang kepada mereka, sebanyak yang mereka butuhkan dari saya?
Apakah kasih sayang yang saya berikan dapat membuat mereka bertumbuh baik sesuai dengan yang seharusnya?

Pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya berujung pada suatu pertanyaan lagi: sudah cukup kuatkah saya apabila saya harus kehilangan orang-orang yang saya cintai?

Well people, inilah alasannya saya memberikan 5 bintang, semuanya, personal sekali.

hanya cinta yang bisa
menaklukan dendam
hanya kasih sayang tulus
yang mampu menyentuh
hanya cinta yang bisa
mendamaikan benci
hanya kasih sayang tulus
yang mampu menembus ruang dan waktu

-Titi DJ feat Agnes M.

Wednesday, September 17, 2008

Very Cloudy Days

Here and now, my brain doesn't work properly, my feeling tremble all the time. Everytime I think about a figure, my heart wounds and my eyes start to drop some tears.

These are the days of uncertainty, the days of clouds darkening the sky. The days that I couldn't find out what first thing to do and what should be wait.

I don't even know how to pray.

Every evening when I dropped by to hospital where she's been taking care, and everytime I stand by her bed in ICU room, I hardly ever hold my tears. Yet, I don't have any idea what to do or to pray, knowing that myself is not a very religious person.
I know that God understands, and I keep on believing that God wouldn't do anything to harm my mom but only for her own sake.
I keep on whispering words to her, about the house that has been taken care, and my kids that she has nothing to worry about.

But I don't know how to pray.

I always feel useless and all I can do just stare at her with a swollen eyes and a belief, that God will settle things up, as usual.

I knew He would.

I just knew it.

Sunday, August 31, 2008

SEA WORLD

 

 
Mama sudah merencanakan cuti 3 hari dari kantornya. Kali ini harus bisa, pikir mama. Selama ini mama tidak pernah ijin dari kantornya, kecuali sakit. Itupun biasanya tetap masuk setengah hari. Kali ini mama sudah merasa jenuh dan butuh menyingkir sejenak dari pekerjaan tiada akhir di kantor, lalu menyiapkan segalanya, terutama pekerjaan-pekerjaan yang akan ditinggalkannya selama 3 hari. Kebetulan proyek juga sedang tidak begitu banyak.

Pagi hari, pukul 6.30. Akhirnya mama ada di rumah juga. Faza dan Kyara sangat senang melihat mama masih ada di rumah pagi-pagi.

“mama ga masuk ya? “ Tanya Faza, anak pertama lelaki mama yang baru bangun tidur.
“iya sayang,”jawab mama, “Faza mau minum susu?” biasanya setiap habis bangun tidur, anak-anak selalu minum segelas susu.
“mama ga dimarahin sama bos mama?” Tanya Kyara, dengan polosnya. Mama tersenyum dan membelai rambut anak perempuannya itu.
“oo…mama masuknya siang ya? Ujar Kyara lagi, sok tahu.
“engga sayang, mama libur. Mama engga masuk kantor sampai hari Senin.”
“mama libur???”teriak Faza dan Kyara serentak. Tumben kompak, pikir mama..hehe..
“iya..”
“horeeee….” Kedua bocah itu berlompatan kegirangan. Ramai sekali suasana pagi itu, anak-anak tertawa riang berlompatan sambil menarik-narik tangan mamanya. “kita jalan-jalan ya ma?? “teriak Kyara.
“ke dufan!!”, teriak Faza
Ke Bogor aja ma” tungkas Kyara. Bogor adalah kampung halaman mereka.
“kalo gitu ke taman safari aja!”
“Ragunan!” Kedua anak itu saling bersahut-sahutan. Heboh sekali.
Mama ikutan girang jadinya.
“sudah-sudah…ayo Faza mandi dulu, sudah jam setengah tujuh lewat, nanti terlambat sekolah..”
Oke ma…” sahut Faza cepat sambil berlari ke kamar mandi. “tapi nanti jalan-jalan ya maa…” teriaknya lagi sambil lari.

 
oOo

 
Hari ketiga mama cuti. 

Selama dua hari ini, mama dan anak-anak tidak pergi kemana-mana. Selain kemarin hujan dan hari sebelumnya mama bertingkah seperti sleeping beauty, alias tidur seharian, juga dikarenakan mama merasa sayang mengeluarkan uang di bulan tua ini. Hehehe…sindrom pegawai kerja pas-pasan memang seperti ini kalau sudah tanggal 20 ke atas.

Meski demikian, anak-anak tetap senang karena mama ada di rumah. Selama 3 hari Faza dijemput oleh mama, bukan kakeknya, dan tiba-tiba Kyara juga jadi hobi jemput kakanya itu (biasanya Kyara tidak bisa ikut jemput kakanya, karena kalau kakek jemput Faza naik sepeda, bukan naik motor..tidak cukup.)

Selain itu, mama juga suka membuat bermacam masakan, seperti nasi goreng yang dibungkus telur dadar, pudding jelly, donat bahkan yang paling hebat, mama kemarin bikin pancake yang disiram dengan syrup leci dan strawberry, meskipun sebenarnya rasa pancakenya lebih mirip kue Lumpur. Tapi yang terpenting anak-anak tidak tau kue Lumpur itu seperti apa..jadi mereka tetap merasa mamanya pembuat pancake paling hebat sedunia..hihihi…

Tapi kadang mama suka galak juga, apalagi kalau Faza dan Kyara sudah mulai bertengkar atau rebutan mainan. Mama jengkel karena biasanya kalau beli mainan selalu dua macam, untuk lelaki dan perempuan. Tapi tetap saja mereka rebutan dan teriak-teriak. Tak heran kalau sudah marah, mama suka teriak kencang, “FAZA!!!” (Tiga tanda seru. Biasanya memang Faza yang tidak mau mengalah) “kasih mainan itu ke dedek! Cepat! Mama itung ya….1…2...” kalau sudah begitu, Faza buru-buru memberikan mainan tersebut kepada adiknya meski enggan. Masalahnya kalau mama sudah marah, wah bahaya, bisa-bisa mama manyun seharian dan kacaunya, bakal tidak ada lagi pudding jelly buat mereka.
 

Siang itu setelah Faza pulang sekolah, Faza bertanya kepada mama. “ ma, kita ngga jadi jalan-jalan ya? “ sambil naik kepangkuan mama yang sedang membaca buku “Mengapa Langit Biru?”
“oh iya ya” sahut mama. Sebenarnya bukan mama tidak mau mengajak anak-anak jalan-jalan. Tetapi karena mama ambil cuti pas di tanggal 20, sementara gajian baru hari Senin tanggal 25, maka mama tidak berencana pergi kemana-mana. Lagi pula uang yang ada, hendak mama gunakan untuk membeli keperluan lain yang lebih urgent, seperti baju-baju kerja dan kontak lens. (iya urgent dong, kan buat cari makan :P). Dalam hati mama menyesali sudah menjanjikan jalan-jalan sama anak-anak. Memang yang namanya bohong selalu menyulitkan di akhir.

“aduh Za, engga usah jalan-jalan ya?” kata mama memelas.
“yaa mama, kan sudah janji…” tuh kan, pikir mama.
“ah mama ga janji kok. Kan mama diam saja” idih mama ngeles deh.
“Lagipula ini bulan tua..” sambung mama.
“Bulan tua? Tiba –tiba Kyara menghampiri. “Bulan tua itu apa sih ma?, bulannya udah tua, gitu?“Tanyanya polos.
“engga dede…” sahut Faza dengan muka agak kesal. “bulan tua itu.., artinya bulannya sudah lama”, demikian Faza menjelaskan, dengan tampang puas, seolah-olah sudah memecahkan persoalan.
Mama tergelak.
“anak-anak, bulan tua itu…artinya uang mama tinggal sedikit, soalnya mama belum gajian.”
“gajian itu apa, ma?” Tanya Kyara lagi.
“gajian artinya mama dibayar sama bos mama, karena mama sudah bekerja selama satu bulan sama bos mama, gitu”…mama pura-pura memelototi anak-anaknya, tapi di hati mama geli sendiri.
“ooo…mama belum dibayar ya sama bos mama? Berarti mama harus cepat kerja sekarang, biar gajian”,sambung Kyara si kecil yang sok tahu dengan muka yang cemas.
Mama tergelak…anak-anak memang lucu…tidak berhenti mencecar mamanya.
Lalu akhirnya mama menyerah.
“iya deh…iya..aduh anak-anak maksa banget yaa…” mama memeluk kedua bocah itu yang sekarang sudah berada di pangkuannya. Masing-masing di salah satu paha mamanya.
“ya sudah sekarang kita siap-siap…kita ke Sea World aja ya…ayo ganti baju anak-anak…”
“jangan lupa ajak kakek”.

Saat anak-anak sedang bersiap-siap di kamarnya, diam-diam mama menghitung uangnya di dompet. Kelihatannya cukup, selama hari Senin nanti benar-benar gajian. Meski demikian, tadinya uang itu diniatkan membeli baju kerja mama yang rata-rata sudah usang. Sebenarnya untuk keperluan itu, mama sudah merencanakan sejak lama. Tapi karena tidak tega sama anak-anak, akhirnya mama memutuskan untuk memakai uang itu dulu. Kapan lagi mama bisa ambil cuti seperti ini.

Suasana menjadi heboh. Anak-anak sangat gembira sampai-sampai mereka tidak bisa menemukan sepatu jalan-jalannya.

Setelah keributan disana-sini, akhirnya mereka berangkat.

 
oOo


Sesampainya di pintu gerbang Taman Impian Jaya Ancol, anak-anak tidak berhenti-henti membuat kehebohan. Mereka menunjuk-nunjuk badut-badut yang ada di sepanjang pagar pintu masuk sambil teriak-teriak memanggilnya. Mama dan kakek sih senyum-senyum saja, sudah biasa.

Tak lama merekapun sampai di pintu gerbang Sea World. Sementara anak-anak menarik-narik tangan kakeknya ingin segera berlari masuk ke dalam Sea World, mama menuju ke loket pembayaran.

“Mba, 2 orang dewasa dan 2 anak-anak” ujar mama di depan loket, “berapa?“ tambahnya lagi.
“Rp. 40,000 untuk diatas usia 3 tahun Bu. Diskon 40 % untuk diatas 60 tahun” jawab mbak penjaga loket dengan ramah.
“kalau begitu yang diatas 60 tahun dua orang, mba” sahut mama garing. Mbak-mbak itu tertawa, lalu berkata,”syaratnya hanya tunjukkan KTP saja Bu” sambungnya.

Kemudian mama memanggil kakek, dan yang dipanggil, sambil memanggil anak-anak dengan putus asa, kakek tergopoh-gopoh mendekati mama.
“ada apa?” tanyanya.
“untuk diatas 60 tahun diskon 40% Kek,” ujar mama, ”minta ditujukkan KTP saja kataya”, dalam hati mama memuji peraturan yang menunjukkan penghargaan bagi orang tua. Tapi tak lama mama berfikir sewot, kenapa anak-anak tidak diskon juga ya? Kan mereka juga masih perlu dukungan pemerintah buat pendidikannya.

Tapi itu cuma dalam fikiran mama saja sih…

Ternyata dalam Sea World itu dingin juga. Mama melihat berkeliling, aquarium beraneka macam terisi ikan-ikan yang beraneka macam juga. Ada yang aquariumnya bulat, lonjong, gepeng, kotak, ada yang besar, kecil bahkan ada yang kecil sekali seperti bingkai foto ukuran 10 R. Selintas mama terhenyak seperti melihat bayangan piring terbang…tapi ternyata bukan piring terbang sih…ternyata itu puluhan ikan pari berbagai ukuran sedang terbang dengan anggunnya.

Anak-anak berlarian mencari pemandangan yang menarik, mereka bergabung dengan kerumunan yang tengah mengerumuni aquarium yang besar ditengah-tengah arena Sea World. Tidak tahunya sebentar lagi acara pemberian makan ikan-ikan yang ada di aquarium besar.

Setelah acara pemberian makan usai, kerumunan bubar, dan anak-anak seketika berlarian lagi mecari pemandangan yag menarik. Mereka langsung tertarik dengan kerumunan lain di seputar kolam penyu. Kakek agak kewalahan menggandeng cucu-cucunya, tapi tawanya tak lepas-lepas dari wajahnya.
“awas Faza…nanti digigit penyu..” teriaknya sesekali.
“Kyara…hati-hati…jangan masukkan tangan ke air..”
“jangan dekati moncongnya…nanti digigit..”
Sementara kakek mengawasi Kyara yang bermain dengan penyu-penyu, mama mengawasi Faza yang segera tertarik dengan kolam ikan hiu.
“mama…liat sini ma…banyak ikan hiu…” teriak Faza setengah histeris. Dari dulu Faza suka sekali ikan hiu. Ia sudah membaca beberapa buku tentang binatang dan sepertinya memutuskan untuk menjadikan hewan-hewam karnivora sebagai favoritnya. Hiiiy…bakat sadis jangan-jangan.

Ternyata ikan-ikan hiunya boleh dipegang karena tidak berbahaya. Menurut salah satu petugas, ikan hiu ini masih anakan, jenis ikan hiu buto yang senangnya berenang di dasar laut di perairan dangkal laut tropis.

Faza dan Kyara kegirangan. Keruan saja, mereka langsung mencari spot yang enak dan membaringkan tubuhnya untuk meraih sirip-sirip ikan hiu yang tidak henti-hentinya memutari kolam itu dengan kecepatan 60 km/jam. Eh engga ding, hiu kan ga punya speedometer.

Tiba-tiba, saat sedang mengamati anak-anak, mama didekati oleh kru TV yang sedang mengadakan siaran.

“ibu, maaf, saya Nina dari Trans TV, mau wawancara ibu dan anak-anak sebentar, boleh?” tanyanya ramah.
Mama tercengang. Masuk TV? Wah boleh juga nih, pikir mama. Aduh kalau tau bakal diwawancara TV, pasti tadi mama pakai bedak agak banyakan..hehehe…
“oh, boleh mba…acara apa kalau boleh tau?” Tanya mama refleks merapikan rambutnya. (padahal ga ngaruh sih dirapihin atau engga…ya begitu aja)
“acara Asal Usul Bu, tiap hari Rabu jam 10 pagi” jawab sang reporter sambil memamerkan senyum manisnya.
“nanti Ibu akan saya tanya-tanya tentang ikan hiu…anak-anak juga. Siap aja ya Bu…”
Dalam hati mama, sebenarnya tidak tahu banyak tentang hiu, tapi berhubung mau masuk TV, mama iya-iya saja.
Deg-degan.
Kru TV segera menyiapkan kamera dan lampu sorot berkekuatan gamma…(habis panas banget sih) lalu setelah mengucapkan aba-aba, sang reporter langsung beraksi.

Detil wawancara tidak perlu diceritakan disini, karena tidak penting (ternyata hanya bertanya tentang makanan yang terbuat dari ikan hiu) tapi yang menyedihkan ternyata anak-anak tidak mau diwawancarai, karena lebih tertarik sama ikan-ikan hiu di kolam.

Intinya wawancara yang tidak berbobot, karena mama asal ngomong kalau sup hisit itu terbuat dari sirip ikan hiu..idih…sok tau banget kan mama. Mudah-mudahan benar.

Tanpa terasa, hari sudah beranjak sore. rombongan harus segera pulang. Anak-anak, mama dan kakek tadi siang juga sudah makan di restoran yang ada di arena Sea World. Meski di pintu keluar mama sempat merutuk, ternyata ada restoran A&W tepat di pintu keluar itu, secara di restoran tadi harga makanannya mahal-mahal banget, jreng…

Di perjalanan pulang, mama mensyukuri hari ini, mensyukuri tawa anak-anaknya dan kakeknya, mensyukuri bahwa setongpes-tongpesnya mama masih bisa mengajak anak-anak jalan-jalan. Meski ada yang harus dikorbankan, yaitu keperluan pribadi mama, yaitu tas Dolce & Gabbana (halah,…engga), tapi rasanya mama tidak menyesal, karena sudah tergantikan oleh rona kebahagiaan di wajah anak-anak dan ayahnya tersayang.

Lagipula, mereka berempat  kan bakal masuk Trans TV…hihihi…yipppiiiiii….


jakarta, 27 April 2006

 

.

 

 

 

 

 

.

 

 

Friday, August 22, 2008

Tarsinah

Mataku terpaku pada potongan gambar di televisi. Berita yang dibacakan oleh reporter cantik itu sungguh membuat bumi yang kupijak seolah-olah melesak ke dalam.

Jantungku seperti mencelos dan duniaku disekelilingku seakan sejenak gelap berputar-putar.

Mungkin dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang bocah miskin yang berusaha bertahan hidup di dunianya yang kejam. Saat itu aku bahkan belum mengetahui namanya, selain wajahnya yang mengesankan kebeliaannya.

Entah didesak oleh kebutuhan ekonomi keluarga, ingin membantu orang tua atau ditipu oleh agen penyalur PRT, pada akhirnya ia terdampar di sebuah rumah di daerah tempat aku mengotrak selama 3 bulan terakhir ini.

Pertama kali aku melihatnya di rumah itu, yaitu saat aku harus berangkat pagi-pagi sekali untuk ke bandara. Aku melihatnya sedang menyapu halaman. Saat itulah aku melihatnya pertama dan terakhir kali. Ia membawa baki sampah dari halaman dan membuangnya ke tempat sampah di depan rumah itu. Selintas aku melihat gerakan yang ganjil dari cara bocah itu berjalan, seeprti terseok-seok. Refleks aku melihat pada kakinya dan terperanjat begitu menemukan bekas-bekas luka seperti sundutan rokok dan lebam lainnya. Sontak aku berhenti dan menatapnya. Sadar diperhatikan, ia menoleh ke arahku dan membalikkan tubuhnya dengan tergesa-gesa masuk ke halaman rumah lagi. Aku mencoba menyusulnya, namun ketika aku sampai di depan halaman rumahnya terdengar bunyi mesin mobil dinyalakan dan dan sepasang mata menatapku curiga. Kuduga dia adalah majikan perempuannya.

Aku segera melanjutkan perjalananku dengan benak dipenuhi tanda tanya. Aku tidak mengenal tetanggaku yang satu ini, selain karena baru 3 bulan aku mengontrak disini, setiap aku melewatinya, rumah ini juga selalu tertutup pintu pagarnya.

Sejak pagi itu, hatiku selalu resah. Aku yakin ada sesuatu terjadi di rumah itu, sesuatu yang mengerikan, mengingat bekas-bekas luka di kaki bocah itu dan tatapan kejam dari majikan perempuannya. Aku berusaha memanjangkan telinga mencari-cari berita atau kasak-kusuk di kalangan tetangga, mungkin saja ada yang pernah tau tentang rumah itu dan bocah pembantu di dalamnya.

Tapi sia-sia saja.

oOo

Dua bulan berlalu, kesibukan kerja telah menyita waktu dan pikiranku sehingga permasalahan bocah pembantu itu terhilang dari benakku. Sampai secara tidak sengaja sewaktu aku berjalan pulang dari kantorku, samar-samar aku mendengar obrolan di depan pos siskamling. Ada sekitar 4 orang lelaki yang sedang duduk disana, namun tidak ada satu orangpun yang kukenal.

“iya, kasian bener..kasian, ga tega ngeliatnya”, ujar salah seorang yang berkaus biru.

“katanya sih, waktu ditanya, tuh anak jatoh dari tangga, jidatnya benjol gitu”

Aku mendekat, ada tukang gorengan di seberang pos siskamling itu. Firasatku mengatakan bahwa mereka sedang membicarakan bocah pembantu itu.

Aku berpura-pura memilih gorengan sembari mencoba mencuri dengar obrolan mereka. Entah kenapa aku sangat penasaran.

“si Ati bilang, majikan cewenya dulu pernah dipenjara gara-gara mukulin pembantu juga”, lelaki berkaus putih menambahkan.

“hiiy…jangan-jangan dia kumat lagi, Jang”, sahut temannya yang berkaus merah.

“tau tuh, naga-naganya sih gitu”

“laporin aja ke polisi”

“ntar kalo kita salah, gimana? Berabe, kan ada praduga tak bersalah”

“cieee…belagu luh Jang…sok ngomong kaya orang pinter...praduga tuh makanan apaan??” seorang yang memakai kupluk hijau yang dari tadi diam saja, mengemplang kepala orang yang bernama Ujang. Lalu mereka tertawa-tawa geli.

“trus ceritanya si Karmin gimana tuh? Katanya ketangkep basah selingkuh sama si Nuri?” kali ini si kaus putih yang bicara.

Topik pembicaraan telah berganti. Aku membayar gorengan yang aku beli, lalu meninggalkan tempat itu.

Sampai saat itu aku belum mengetahui nama bocah pembantu itu. Namun dari kasak kusuk dengan tetangga, penjual nasi uduk, penjual sayur sampai kios pulsa di ujung gang kompleks ini, para tetangga kelihatan sudah mengethui apa yang terjadi di rumah tersebut.

Rata-rata mereka trenyuh, tetapi tak mampu berbuat apa-apa.

“kalo yang sebelum ini mah, udah dipulangin ke agennya”, ucap mpok Sarti penjual nasi uduk pada suatu hari.

“nah kalo yang itu agak tua-an dari yang sekarang Neng”, tambahnya lagi.

“iya, yang sekarang kayanya masih anak-anak banget, Mpok, kok boleh ya anak sekecil itu kerja?” tanyaku penasaran.

“lah jangan Tanya sama saya, Neng..he…he..mana tau, kita”, terkekeh mpok Sarti memperlihatkan barisan giginya yang ompong dua di depan.

“tapi saya denger sih dia ngambil dari Jawa gitu kabarnya”

Aku menarik napas, “pantesan aja kalo gitu Mpok. Saya cuma kasihan aja”

“ya kita juga kasihan Neng, paling-paling  kalo udah dianggep ga bisa kerja tuh bocah dipulangin ke kampungnya”

Mpok Sarti mengikat bungkusan nasi uduk pesananku dengan karet, lalu ia menambahkan,”yang kemaren sih gitu”.

“ya..mudah-mudahan saja Mpok, ini uangnya. Makasih ya”, aku menyerahkan uang pas Rp. 4.000,- kepada Mpok Sarti dan meinggalkan warung nasi uduk untuk berangkat ke kantorku.

oOo

Hari ini, tanggal 17 Agustus 2008, Hari peringatan proklamasi kemerdekaan RI, tepat satu bulan setelah aku pindah dari kontrakanku yang lama.

Pagi hari saat aku selesai mandi dan hendak menyeruput kopi, tak sengaja aku melihat berita itu.

Bocah pembantu itu bernama Tarsinah, ternyata umurnya baru 13 tahun. Ia ditemukan tak bernyawa di dalam selubung plastik di sebuah mobil kijang merah milik majikannya. Salah seorang kerabat dari keluarga itu mengatakan bahwa sang majikan hendak membawa jenazah Tarsinah ke RS.

Tapi apakah lazim membawa jenazah manusia ke dokter dengan dibungkus kantong plastik?

Menurut berita, Tarsinah meninggal karena terjatuh dai tangga di rumah itu. Tapi salah seorang tetangga yang dimintai keterangan mengatakan bahwa ia sempat melihat jenazah Tarsinah dari lantai dua rumahnya, saat bungkus plastik dibuka oleh petugas kepolisian. Sekujur tubuhnya biru-biru dan lebam.

Aku terhenyak dan tak sanggup menatap kotak kaca di hadapanku. Mataku berkaca-kaca, dadaku sesak, namun untuk menangis aku sangat malu.

Tak henti-henti aku menyalahkan diriku, menyesalkan orang-orang disekelilingku, menyesalkan Mpok Sarti, Ujang dan ketiga temannya dan yang paling menyakitkan, aku menyalahkan diriku yang pengecut ini. Ribuan kata seandainya, kalau saja dan sebagainya bergelayutan di benakku, membentuk sayap-sayap penyesalan yang tiada bermakna.

Satu nyawa telah hilang, nyawa yang seharusnya bisa kami selamatkan.

 oOo

Lagu Hari Merdeka dinyanyikan dengan gembira oleh kelompok Paduan Suara di Istana Merdeka. Sambil memencet kepalaku yang pening, aku mempertanyakan kemerdekaan itu. Bukankah dulu para pahlawan kita, pejuang kita, berjuang dan bertempur demi keadilan? Mereka tidak mau membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di negeri ini.

Kira-kira satu bulan yang lalu aku memiliki kesempatan untuk memperjuangkan keadilan yang sama.

Tapi aku, sebagaimana yang lain, berpaling dan pergi.

Monday, July 7, 2008

Manusia

Kemarin malam saya menonton sebuah acara televisi yang cukup menarik, di Metro TV kalau tidak salah. Tidak penuh, karena saya jarang nonton TV kecuali ketika sedang di kamar ibu saya, yang seringnya dilakukan tanpa maksud yang jelas, selain duduk di kasurnya sambil memijiti kakinya, atau sekedar mencari "kehidupan" (baca: makanan..) yang selalu tersedia di kamarnya...

Diceritakan bahwa para peneliti tengah melakukan studi tentang keberadaan manusia, diusut dari mulai adanya tanda-tanda peninggalan kebudayaan manusia dan fosilnya, sampai teori kemusnahan sebagian besar dari populasi manusia, tidak jelas kapan tepatnya, tapi konon pernah terjadi.

Manusia, dipercaya telah ada di bumi sejak jutaan tahun lalu, terakhir yang saya tahu dengan ditemukannya fosil manusia berusia +/- 4 juta tahun lalu di Afrika. Dalam penelitian yang dilakukan para ahli tersebut, berdasarkan penelitian DNA yang dilakukan, ada semacam "rekaman" mengenai pola kembang biak manusia sampai dengan kemusnahannya, dengan kata lain, rekaman DNA tersebut dapat mengindikasikan hal apa yang telah menyebabkan punahnya sebagian besar dari jenis manusia di masa lampau. "hal" mana yang tidak tertutup kemungkinan dapat terjadi lagi.

Secara gamblang, dalam acara tersebut digambarkan sebuah botol dengan bermacam bola-bola kecil warna warni didalamnya (menggambarkan sifat genetik masing-masing kelompok manusia). Lalu botol tersebut digulingkan, dan dari sekian banyak bola yang ada didalamnya, hanya tiga butir bola saja yang berhasil keluar dari botol. Kira-kira seperti itulah seleksi alamnya.

Pertanyaannya, apakah hal yang menyebabkan kemusnahan tersebut berasal dari alam atau dari dalam tubuh manusia sendiri?

Tentunya selalu ada kemungkinan, bahwa kemusnahan terjadi karena faktor alam, seperti bencana dsb, sehingga hanya gen yang paling kuat saja yang mampu bertahan. Atau memang sifat-sifat dalam gen itu sendiri yang menyebabkan kepunahannya. Namun yang pasti, hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa modifikasi dari gen satu ke yang lain, dalam hal ini keturunannya, dapat mengakibatkan perubahan dalam struktur pertahanan gen itu sendiri. Untuk yang satu ini digambarkan secara gamblang juga, ibaratnya sebuah foto di fotokopi sampai puluhan kali, maka hasil fotokopi yang terakhir menunjukkan perbedaan, kalau tidak mau dikatakan penurunan kualitas.

Sampai disini, teori fotokopi masih bisa nyangkut di otak saya, meski terlalu absurd.
Maksudnya, manusia berkembang melalui perkawinan yang menghasilkan sifat-sifat baru hasil percampuran dari gen yang berbeda. Dan hasil dari percampuran gen tersebut ada yang menurunkan sifat-sifat terbaik, namun tentunya ada juga yang menurunkan sifat lemah. Untuk yang terakhir ini, mungkin lebih berpotensi mengakibatkan kepunahan.
hehe...kira-kira gitu ga yah?

Intinya, dari kacamata awam saya, perkawinan sifat-sifat genetis yang dibawa oleh lelaki dan perempuan akan menghasilkan DNA yang baik dan buruk, kuat dan lemah, yang dalam perkembangannnya akan turut menentukan daya hidup dalam rangka menghadapi gejala-gejala alam yang terus berevolusi ini...caelaa...

intinya lagi, (yang ini dilihat dari kacamata kenaifan saya), kalau hendak mencari pasangan lihatlah bibit, bobot dan bebetnya, supaya dapat menghasilkan keturunan yang baik dan kuat...iya, apa iya?

Meski demikian, walaupun dari luar setiap bangsa manusia memiliki ciri-ciri khas sendiri yang terbentuk melalu penyesuaian terhadap gejala-gejala alam tempat hidupnya, yang dapat berupa perbedaan fisik seperti kulit, rambut, pencernaan dsb, hampir 90% sifat-sifat DNA setiap manusia itu sama. Sehingga pesan sponsornya adalah, mengapa kebanyakan manusia lebih fokus pada perbedaan kulit luarnya, daripada kesamaan di dalam?
....

Belum selesai ditonton, (dan sebelum mendapatkan akhirul kalam yang lebih tepat daripada kesimpulan saya di atas), ibu saya tiba-tiba terbangun dan bertanya,
"acara apa sih ini? dari tadi was.. wes.. wos...was..wes..wos.., apaan sih ini..?" tanyanya sambil tangannya meraba-raba kasur mencari remote control.
"nngngng...ini loh...tentang penelitian DNA" jawab saya
"penelitian apa? mana sih remotenya,"ujarnya lagi
"DNA," jawab saya lagi sekenanya
"ah ga ngerti, " kata ibu saya lagi
"nggngng...ya udahlah, ganti aja deh.." pasrah saya
"sini remote-nya", katanya lagi.
glek.

Lalu acara pengetahuan kita tentang keagungan DNA manusia berganti dengan sinetron Munajat Cinta ...hehehe



Wednesday, June 25, 2008

Faza & syndrome genetic: mathophobia

Ini adalah salah satu cerita tentang anak saya yang pertama. Faza panggilannya. Sekitar dua minggu yang lalu, Faza mengikuti ujian di sekolahnya. Meskipun Faza bukan termasuk anak yang tertinggal di kelasnya, tak urung saya ikut merasa deg2an juga.

 

Seminggu sebelum ujian, tak jemu saya memerintahkan Faza untuk membuka-buka buku pelajarannya dan membaca ulang seluruh pelajaran yang sudah dipelajari di kelas I SD. Hampir setiap malam sepulang saya dari kantor, saya sempatkan untuk mengecek kegiatannya, dan mengetes beberapa pengetahuan yang sudah dipelajarinya.  Alhamdulillah, kelihatannya oke.

 

Khusus untuk matematika, memang ada sedikit masalah, karena Faza kurang menyukai matematika, akibatnya nilai-nilai matematikanya selama ini kurang memadai. Sering Faza harus diingatkan berkali-kali cara mengerjakan sebuah soal matematika. Biasanya, kalau saya sempat mengingatkan dia sebelum hari H, ia akan sedikit terbantu dalam mengerjakan soal keesokan harinya.

 

Nah, saat tiba ujian matematika, saya tidak sempat mengajarinya sepulang dari kantor. Selain karena sudah malam, siangnya saat saya cek, kata kakeknya yang mengasuh, faza sedang belajar buku matematika. Syukurlah pikir saya.

Ternyata ketika saya cek lagi pada malamnya menjelang faza tidur, buku matematika yang dipelajari faza seharian adalah buku matematika untuk kelas 2. dan usut punya usut, yang mengerjakannyapun bukan si faza, melainkan kaka-kaka sepupunya yang sudah kelas 6.

Dengan kata lain: faza tidak belajar.

 

Keruan saja saya panik. Saat itu sudah jam 20.30, dan mau tak mau saya harus mengecek pemahaman faza untuk tes matematika besok. Dan saya harus terima kenyataan bahwa faza sangat tidak menguasai soal-soal yang sudah pernah diajarkan selama ini.

Setengah frustasi, karena tidak mampu mengajari faza dalam injury time seperti itu, saya mengambil langkah yang saat itu, saya pikir cukup strategis, dengan memperhitungkan soal-soal yang ada di buku tematiknya.

”begini aja ya sayang, kalau faza bingung, tinggal mengurangi bilangan yang besar dengan bilangan yang lebih kecil, ok??”

Sedikit berdoa, semoga cara saya cukup efektif, lalu saya mengakhiri hari yang melelahkan itu.

 

Esoknya, sebelum saya berangkat ke kantor, kira-kira jam 9 pagi, faza sudah pulang. Cukup terkejut karena hari itu ada 2 mata pelajaran yang diuji, salah satunya matematika yang saya segani itu, ternyata anak saya pulang cepat sekali.

Ketika ditanya bagaimana ujian matematikanya? Dengan santai anak saya menjawab,

”gampang ma, gampang banget!”

”oya?”, sahut saya tak percaya.

”iya, kan kata mama, yang besar dikurangi yang kecil, gitu aja kan? Ya udah, faza tinggal kurangin aja angka yang besar-besar dengan yang kecil-kecil..”

Oalaaaa....

Terus terang, saat itu perut saya tiba-tiba jadi ga enak. Lalu sambil merasa berdosa, saya bergegas ke kantor, cium jidatnya faza, diiringi doa, mudah-mudahan nilai matematikanya tidak terlalu jelek...huhuhu....ampun deh, ini memang salah saya...jelas, saya yang salah kalau begini...bagaimana mungkin anak saya bisa menggeneralisir jawaban tanpa memperhitungkan soal-soalnya? Oh my God...

 

 

*1 minggu kemudian*

 

Alhamdulillah, setelah hasil ujian dibagikan, nilai matematika faza tidak terlalu buruk, meski hanya mendapat 7,2. Secara keseluruhan nilai rata-rata dari 10 mata pelajaran adalah 8,5, dengan nilai terendahnya pada matematika, dan nlai 10 untuk sains...horeee

 

Yaa...untuk kisaran anak yang super cuek seperti faza, nilai rata-rata segitu mah..lumayaann...

hehehe...

 

phhuiiiihhhh....legaaaaa.....

 

 

 

Wednesday, June 4, 2008

Ibuku Anak Emas Negara

Baru saja hari Jumat lalu ibuku keluar dari RSPJ, hari Senin kemarin beliau diinstruksikan untuk dirawat kembali.

Seperti biasa, hari Senin ibu harus menjalani Hd (hemodialisa=cuci darah) rutinnya. Semula Hd ini dijalani 2 kali seminggu, namun sejak hari Jumat lalu, beliau harus menjalaninya 3 kali seminggu, yaitu Senin, Rabu dan Jumat.

Luar biasa.

Segala hal yang ditakutkan oleh ibuku akhirnya terjadi juga. Entah kenapa, hampir semua yang dicemaskannya selama membaktikan diri sebagai ibu dan istri yang baik menjadi kenyataan. Dan puncaknya adalah cuci darah. Satu hal yang paling ibu takutkan, yang menyebabkan semakin parahnya penyakit beliau. Betapa tidak, karena ketakutannya ini, beliau menjauhi RS dan pengobatan medisnya dengan mencari berbagai pengobatan alternative untuk menyembuhkan penyakit gulanya. Hasilnya? Seperti kita ketahui bersama.

Akhir-akhir ini bahkan ibuku begitu rutin menginap di RSPJ. Baru keluar 3 hari, misalnya, begitu selesai Hd rutinnya, beberapa kali tidak diperbolehkan pulang oleh dokter. Alasannya macam-macam, tensi yang tidak stabil, alat bantu teknis yang tidak bekerja dengan baik, dsb. Seolah tidak memusingkan biaya perawatan yang harus ditanggung negara, dokter tanpa ragu menyuruh ibu untuk tinggal di RS, paling tidak selama 5 hari (bayangkan jika kami harus mengeluarkan biaya, sudah pasti banyak barang-barang di rumah yang tergadai)

Disadari atau tidak, sejak ibu rutin menyambangi RSPJ setahun belakangan ini, aku  jadi merasa lebih nasionalis. Lebih cinta negara ini. Salah satu alasan mungkin karena negara telah membiayai pengobatan ibuku dengan pelayanan yang sangat prima. Tak ada alasan aku mengeluh pada negara ini. Selain karena aku dihidupkan di sini, juga karena mungkin, negara telah mengangkat ibuku menjadi salah seorang anak emasnya.

Hmm…hmmm…I just love this country, even more.

Friday, May 30, 2008

BA'WAN

Tadi pagi saya sempat dibuat kesal. Yah sebenarnya tidak perlu kesal sih. Tapi what the *@$% ! ini kan blog saya. Bebas dunks untuk menyuarakan ekspresi.

Bermula dari niat makan gorengan yang menggebu-gebu.

Sudah membayangkan manisnya pisang goreng atau ubi goreng yang ehm..ehm...Tapi ketika mendapati sajian gorengan yang ada (baca: TERSISA) di meja, yang saya dapati hanya ba’wan kriting-kriting bulat yang bikin ilfil itu.........uuuuuuaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhggggrrrrggggghhhhhh@$%!!!!....

Ini personal sekali. Benar-benar menjengkelkan. Karena saya dari kecil sampai tua begini paling sebal sama yang namanya ba’wan. Ga tau kenapa, mungkin ada sejenis energi yang negatif terpancar dari ba’wan itu..(ih maksa banget).

Coba lihat aja, dari namanya, ba’wan itu sudah menunjukkan inkonsistensi.

BA’ (kadang2 dibeberapa tempat diucapkan dengan ”mba”) + WAN.

2 huruf pertama menunjukkan mba, yang identik dengan gender: perempuan. Sementara 3 huruf kedua (wan) adalah akhiran yang identik dengan gender lelaki. See?? Ga jelas banget kan makanan ini.

Yang kedua, dari namanya, bagi orang yang tidak pernah melihat atau mendengar ba’wan, pasti menyangka ini adalah makanan yang berasal dari Cina. Seperti halnya Ba’mi, ba’pao, ba’so, ba’pia dan ba’ ba’ lainnya. Tapi coba lihatlah rupanya...apa ada makanan Cina yang dibuat dari kol, toge dan wortel lalu digoreng semacam ini. Apa ini artinya? Penipuan! Atau bahasa kerennya ”penggelapan identitas” (halah)..

Yang ketiga yang paling fatal.

Ba’wan itu bener-bener ga jelas banget. Kita sering lihat dimana-mana ada tukang baso ba’wan malang...coba deh perhatikan baik-baik...GA ADA BA’WAN-NYA KAN???

Gubrakkkkk......!

Friday, May 23, 2008

The Question

Last night I finally have to face the question.

It is the question that I've been trying to avoid so hard. The question that makes my heart melts and my lips numb. It was about 9 pm in the evening and I told my kids to go to bed. Suddenly my little princess, asked this question, "Mommy, why Dad never came home again?"

I tried to neglect the question, but somehow, a thought came across my mind and say that I must deal with this. The kids must know the truth. However, the truth might a bit difficult for them to understand, so I create another lie.


I told them that Dad was on sailing, for in definitive time.
I really don't know how to explain this to them, I'm just expecting that by the time goes, they will understand the situation automatically.

I took a glimpse on the eldest. As usual, he was just silenced when someone asked about his father. I don't know whether it's because of his feeling, sad or hatred, or he’s just acting ignorant. I somehow saw that actually he also would like to know, but he might try to hide it, as if he knew that it’ll bother me. I don't know. All I know that the eldest is different from the other kids I’ve known, he sometimes looks like hiding or playing something in his mind.

When the princess already slept, I found that her brother still awoke. So I asked him the question that has always been bothering me either.

“Baby, have you been asked about your father in school?”

My son looked at me, then he looked at the ceiling. His pretty eyes blinked and he answered,

“well, yes mom…I have often being asked about Dad”

“and..?” I replied

“ummm…I don’t know how to answer that question, mommy..” he still played with his pillow, and suddenly he asked me ,

”where exactly Dad is, mommy? I never knew where he was, so I usually don’t answer that question” he said.

I felt so sad about my son and my princess that they have to deal with this problem that they don’t have any clue about it. It’s clear that I couldn’t say that Daddy doesn’t love us enough that he left us without notification, right? although perhaps, it may be the correct answer. I tried to think as creative as I could, but I failed. Finally I just said that next time, if my kids were asked about their father, just say that he’s on sailing abroad. I know that it didn’t satisfy the eldest, but I just can’t find a better answer.

I just held him tight, and whisper,

“I’m sorry my love, mommy also don’t know where he is…but I’m sure that he’s thinking of us…” I held him even tighter.

“Is it all right for you, if you only got mommy without daddy?” I asked curiously,

“it’s all right mommy…I love you”

His answer sounded like heaven in my ear.

Wednesday, April 30, 2008

the Loving One


O the loving one

where can I find a glance of your shine?

I can feel your love, but I can't feel you

I can see your beauty

but I can't get near you

all the tears I've shed in my lonely nights

faded just before you

the air I breathe full of scream and hope

now and then it became aching

I smell my fear and cry for my pains

I seek through the darkness and serenity

I seek for you

How I seek for you

Sunday, April 6, 2008

Kimya dan Sufisme

Saya habis membaca buku Kimya, sang putri Rumi.

Seorang teman telah berbaik hati meminjamkannya kepada saya ditengah hingar bingar pertunjukan musik di Planet Hollywood. Terus terang, saat itu saya lupa kalu saya pernah meminjam buku tersebut darinya, sehingga saat dibawakan, saya malah terperangah...hehehe...jadi berasa a nice surprise gitu yak..

Buku ini berkisah tentang seorang anak perempuan di negeri Turki, di sebuah desa yang tak terkenal dan pada akhirnya adalah kisah kehidupannya di kota Konya (Koniah) yang terkenal itu. Anak ini memiliki tnda-tnda spesial tertentu seperti halnya Joan of Arc, yang sering mendapatkan penampakan atau sekedar perasaan ekstase tertentu yang sulit dipahami orang pada umumnya. Dalam pengalaman spiritualnya itu, sang anak, yang bernama Kimya ini, sering dihampiri oleh rasa kerinduan mistis kepada sang Khalik, yang tentunya tidak dimengerti oleh Kimya sendiri. Ia kerap merasakan kebahagiaan tiada tara, perasaan senang setiap kali disentuh oleh pengalaman itu.

Entah bagaimana, kejadian demi kejadian mengantarkan Kimya kepada Sang Maulana Jaluddin Rumi, yang anehnya, merupakan kejadian yang tak sengaja saat Kimya akan dititipkan ke Biara oleh ayahnya, namun karena biarawati yang akan mengurusnya sudah pergi, maka ayahnya tidak jadi menitipkan di sana. Maulana Jalaludin Rumi sendiri sebenarnya sudah pernah datang kepada Kimya, baik dalam mimpi maupun dalam pengalaman spiritualnya, seolah-olah memang tangan Tuhan telah menakdirkan Kimya untuk dirawat oleh Rumi.

Yang menarik, dalam buku ini begitu kental nuansa toleransi beragama antar Kristen dengan Islam. Bahkan tokoh kita inipun, Kimya, berasal dari keluarga yang heterogen. Ibunya adalah Kristen, ayahnya adalah penganut Islam yang baru-baru itu menguasai Turki dan mengambil alih agama mayoritas sebelumnya. Sang ayah, Faroukh adalah eks penganut pagan, yang kerap memiliki ritual-ritual tertentu dalam ibadahnya. Namun demikian, mereka sekeluarga sangat mempercayai Tuhan dan mengaitkannya secara kental dalam kehidupan sehari-hari.

Cerita beranjak dari Kimya, seorang gadis kecil yang extraordinary, menjadi gadis remaja yang cantik dan mengalami transformasi spiritual menjalani hidup sebagai salah seorang penganut sufi, dengan bantuan Rumi dan as Syams. Disini saya seolah-olah dapat merasakan kebingungan Kimya atas pengalaman hidupnya, sekaligus mendapatkan pencerahan atas jawaban-jawaban yang diperolehnya.

saya juga seolah mendapatkan jawaban dari  kehidupan para sufi yang  dulu tidak saya mengerti, yaitu menjauhkan diri dari kemewahan hidup dan masyarakat. Mereka seperti hidup dalam dunianya sendiri, dan kadang-kadang saya mempertanyakan, apakah sufi itu Islami? bagaimana kaitannya dengan konsep "Rahmatan lil Alamin"?. tapi sudahlah...kita toh bukan mau membicarakan itu...

terus terang tidak semua jawaban saya dapatkan, mungkin saya harus lebih mendalami lagi, namun satu hal yang saya tangkap dari kehidupan sufi yang menyendiri, bahwa mereka menganggap cinta adalah Tuhan, Tuhan adalah cinta. Tidak ada cinta yang lain selain Tuhan. Cinta datang dalam kepedihan, seperti halnya Tuhan mendatangi kita dalam kesedihan, kesendirian, istilahnya ,"hati yang berdarah-darah". Dan saat "Cinta" datang, maka tidak ada kenikmatan lain yang setara di dunia ini yang dapat menyamainya.

Sungguh, begitu saya mencoba memasuki alam pikiran seperti ini, yang terasa adalah kedamaian, rasa haru yang menyakitkan, namun serasa ingin dan ingin terus merasakannya. Kepedihan yang indah, kalau menurut saya, bahkan mengucapkan namaNya membuat hati terasa sesak, namun begitu membahagiakan.

Kimya telah menjalani transformasi dari sebuah tembaga menjadi emas, Ia mengetahui rahasia hubungan antara manusia dengan Rabb-nya, dan walaupun masyarakat tak kunjung dapat mengerti, Kimya telah membahagiakan dirinya melalui kepedihan, kekosongan dan kesunyian yang membebaskannya dari persepsi"bahagia" secara kebanyakan.

Saya tidak tau apakah penangkapan saya terhadap buku ini, yang notabene merupakan salah satu buku mengenai sufisme. Namun yang jelas, kini saya tambah memahami kisah Layla Majnun dari sudut pandang Sufisme. Mudah-mudahan saya bisa mendapatkan ilmu sufi lagi suatu saat nanti.

What an excellent way to understand life and love...