Wednesday, June 25, 2008

Faza & syndrome genetic: mathophobia

Ini adalah salah satu cerita tentang anak saya yang pertama. Faza panggilannya. Sekitar dua minggu yang lalu, Faza mengikuti ujian di sekolahnya. Meskipun Faza bukan termasuk anak yang tertinggal di kelasnya, tak urung saya ikut merasa deg2an juga.

 

Seminggu sebelum ujian, tak jemu saya memerintahkan Faza untuk membuka-buka buku pelajarannya dan membaca ulang seluruh pelajaran yang sudah dipelajari di kelas I SD. Hampir setiap malam sepulang saya dari kantor, saya sempatkan untuk mengecek kegiatannya, dan mengetes beberapa pengetahuan yang sudah dipelajarinya.  Alhamdulillah, kelihatannya oke.

 

Khusus untuk matematika, memang ada sedikit masalah, karena Faza kurang menyukai matematika, akibatnya nilai-nilai matematikanya selama ini kurang memadai. Sering Faza harus diingatkan berkali-kali cara mengerjakan sebuah soal matematika. Biasanya, kalau saya sempat mengingatkan dia sebelum hari H, ia akan sedikit terbantu dalam mengerjakan soal keesokan harinya.

 

Nah, saat tiba ujian matematika, saya tidak sempat mengajarinya sepulang dari kantor. Selain karena sudah malam, siangnya saat saya cek, kata kakeknya yang mengasuh, faza sedang belajar buku matematika. Syukurlah pikir saya.

Ternyata ketika saya cek lagi pada malamnya menjelang faza tidur, buku matematika yang dipelajari faza seharian adalah buku matematika untuk kelas 2. dan usut punya usut, yang mengerjakannyapun bukan si faza, melainkan kaka-kaka sepupunya yang sudah kelas 6.

Dengan kata lain: faza tidak belajar.

 

Keruan saja saya panik. Saat itu sudah jam 20.30, dan mau tak mau saya harus mengecek pemahaman faza untuk tes matematika besok. Dan saya harus terima kenyataan bahwa faza sangat tidak menguasai soal-soal yang sudah pernah diajarkan selama ini.

Setengah frustasi, karena tidak mampu mengajari faza dalam injury time seperti itu, saya mengambil langkah yang saat itu, saya pikir cukup strategis, dengan memperhitungkan soal-soal yang ada di buku tematiknya.

”begini aja ya sayang, kalau faza bingung, tinggal mengurangi bilangan yang besar dengan bilangan yang lebih kecil, ok??”

Sedikit berdoa, semoga cara saya cukup efektif, lalu saya mengakhiri hari yang melelahkan itu.

 

Esoknya, sebelum saya berangkat ke kantor, kira-kira jam 9 pagi, faza sudah pulang. Cukup terkejut karena hari itu ada 2 mata pelajaran yang diuji, salah satunya matematika yang saya segani itu, ternyata anak saya pulang cepat sekali.

Ketika ditanya bagaimana ujian matematikanya? Dengan santai anak saya menjawab,

”gampang ma, gampang banget!”

”oya?”, sahut saya tak percaya.

”iya, kan kata mama, yang besar dikurangi yang kecil, gitu aja kan? Ya udah, faza tinggal kurangin aja angka yang besar-besar dengan yang kecil-kecil..”

Oalaaaa....

Terus terang, saat itu perut saya tiba-tiba jadi ga enak. Lalu sambil merasa berdosa, saya bergegas ke kantor, cium jidatnya faza, diiringi doa, mudah-mudahan nilai matematikanya tidak terlalu jelek...huhuhu....ampun deh, ini memang salah saya...jelas, saya yang salah kalau begini...bagaimana mungkin anak saya bisa menggeneralisir jawaban tanpa memperhitungkan soal-soalnya? Oh my God...

 

 

*1 minggu kemudian*

 

Alhamdulillah, setelah hasil ujian dibagikan, nilai matematika faza tidak terlalu buruk, meski hanya mendapat 7,2. Secara keseluruhan nilai rata-rata dari 10 mata pelajaran adalah 8,5, dengan nilai terendahnya pada matematika, dan nlai 10 untuk sains...horeee

 

Yaa...untuk kisaran anak yang super cuek seperti faza, nilai rata-rata segitu mah..lumayaann...

hehehe...

 

phhuiiiihhhh....legaaaaa.....

 

 

 

Wednesday, June 4, 2008

Ibuku Anak Emas Negara

Baru saja hari Jumat lalu ibuku keluar dari RSPJ, hari Senin kemarin beliau diinstruksikan untuk dirawat kembali.

Seperti biasa, hari Senin ibu harus menjalani Hd (hemodialisa=cuci darah) rutinnya. Semula Hd ini dijalani 2 kali seminggu, namun sejak hari Jumat lalu, beliau harus menjalaninya 3 kali seminggu, yaitu Senin, Rabu dan Jumat.

Luar biasa.

Segala hal yang ditakutkan oleh ibuku akhirnya terjadi juga. Entah kenapa, hampir semua yang dicemaskannya selama membaktikan diri sebagai ibu dan istri yang baik menjadi kenyataan. Dan puncaknya adalah cuci darah. Satu hal yang paling ibu takutkan, yang menyebabkan semakin parahnya penyakit beliau. Betapa tidak, karena ketakutannya ini, beliau menjauhi RS dan pengobatan medisnya dengan mencari berbagai pengobatan alternative untuk menyembuhkan penyakit gulanya. Hasilnya? Seperti kita ketahui bersama.

Akhir-akhir ini bahkan ibuku begitu rutin menginap di RSPJ. Baru keluar 3 hari, misalnya, begitu selesai Hd rutinnya, beberapa kali tidak diperbolehkan pulang oleh dokter. Alasannya macam-macam, tensi yang tidak stabil, alat bantu teknis yang tidak bekerja dengan baik, dsb. Seolah tidak memusingkan biaya perawatan yang harus ditanggung negara, dokter tanpa ragu menyuruh ibu untuk tinggal di RS, paling tidak selama 5 hari (bayangkan jika kami harus mengeluarkan biaya, sudah pasti banyak barang-barang di rumah yang tergadai)

Disadari atau tidak, sejak ibu rutin menyambangi RSPJ setahun belakangan ini, aku  jadi merasa lebih nasionalis. Lebih cinta negara ini. Salah satu alasan mungkin karena negara telah membiayai pengobatan ibuku dengan pelayanan yang sangat prima. Tak ada alasan aku mengeluh pada negara ini. Selain karena aku dihidupkan di sini, juga karena mungkin, negara telah mengangkat ibuku menjadi salah seorang anak emasnya.

Hmm…hmmm…I just love this country, even more.