PEB
17 Mei 2016
Hari itu berjalan seperti biasa, aku yang sudah mulai cuti melahirkan, sedang melakukan kegiatan rutin di rumah. Yaitu bersantai dan nonton TV. Aku sengaja ambil formula 2 + 1, dari jatah 3 bulan cuti melahirkan. Artinya dua bulan sebelum melahirkan, dan sebulan setelah melahirkan, dikarenakan kondisi fisik yang sudah mulai mengganggu pekerjaan. Di antaranya, mataku terasa sangat kabur (bisa dibilang penglihatanku mungkin hanya 50% saja), sulit berkonsentrasi, dan kaki-kaki juga terasa berat sampai belanja di swalayan saja harus pakai kursi roda.
Ini adalah kehamilanku yang ketiga. Anakku yang pertama sudah kelas 9, sementara yang kedua kelas 7. Jarak antara yang kedua dengan jabang bayi adalah 13 tahun, sementara usiaku saat ini mau menginjak 40 tahun. Kehamilanku yang sebelumnya adalah di usia 25 dan 26. Sungguh terasa amat berbeda kehamilan di usia muda dan di usia matang seperti sekarang. Meski aku paham risiko-risikonya, tapi tetap saja, aku butuh minum suplemen brand saripati ayam setiap hari guna menjaga aktivitasku yang masih bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta. Sudah ditunjang suplemenpun, aku kadang masih sering tertidur di kantor karena kelelahan. Itulah sebabnya aku mengajukan cuti yang agak di luar kebiasaan. Sebab kebanyakan karyawati hamil mengambil cuti setelah melahirkan, dengan kata lain, mereka tetap bekerja sampai hari H melahirkan, supaya nanti bisa merawat bayinya sampai 3 bulan setelah melahirkan.
Kebetulan malam ini jam 19 aku sudah ada janji dengan dokter kandungan di sebuah RS swasta di Jakarta Timur. Suamiku dari tempat kerjanya akan menjemputku sekitar pukul 17, lalu kami akan langsung meluncur ke RS tersebut. Memang jaraknya lumayan, karena rumahku berada di Jakarta Utara. Namun dengan segala pertimbangan kami memutuskan untuk konsultasi dan melahirkan di RS tersebut. Aku bahkan sudah booking kamar perawatan dan mengikuti kelas prenatal setiap minggunya di RS tersebut.
Tepat jam 17, suamiku pulang. Kemudian setelah ia mandi, kami berpamitan pada ayah dan anak-anakku untuk ke RS, konsultasi bulanan. Dalam hati aku mengingat-ingat apa saja yang ingin kutanyakan, salah satunya adalah mataku yang bermasalah. Bukan saja buram, tapi juga agak bengkak dan berair. Aku mau dokterku merujukku ke dokter mata untuk masalah ini.
Sesampainya di RS tersebut, seperti biasa suasana sepi, dingin dan wangi. RS ini memang relatif masih baru, jadi belum terlalu banyak pasiennya. Kondisi ideal bagiku yang tidak suka keramaian. Kami naik lift ke lt. 3, tempat di mana dokter kandunganku praktek. Di ruang tunggunya yang luas, disediakan dispenser, teh dan kopi instan. Ada juga beberapa bacaan. Aku menemui perawat yang bertugas untuk mendaftarkan diri. Ternyata dokternya berhalangan dan akan diganti oleh dokter lain, hanya saja jamnya mulur jadi jam 20. Karena rumah kami cukup jauh, terpaksa kami harus menunggu. Akupun ditensi oleh perawat, seperti biasa tekanan darahku normal, yaitu 120/80. Dalam hati aku bertanya-tanya, sebenarnya ini alat tensinya berfungsi atau tidak ya, karena sejak bulan ke 1 sampai ke 8 ini tensiku selalu saja 120/80. Masa iya?
Setelah selesai tensi, suamiku menawarkan untuk makan malam dulu di daerah Kelapa Gading. Aku memilih makan sushi di restoranfi sushi favoritku, Midori.
Tepat pukul 20 kami kembali ke RS, di sana sudah ada dr. Joni, yang sedang melayani pasien. Dokter Joni ini sebenarnya adalah dokter yang pertama kali menangani aku di sini sebelum aku minta pindah ke dokter perempuan. Meskipun dr. Joni jauh lebih berpengalaman, namun aku lebih nyaman dengan dokter perempuan.
Saat kami masuk ke ruangannya, sang dokter sempat menatap ke arah kakiku yang terlihat bengkak. Ia bertanya apakah tensiku tinggi? kujawab tidak, lalu ia melihat catatan kehamilanku. Agak seperti kurang percaya, ia memerintahkan perawat untuk mengukur tekanan darahku kembali, yang tetap saja dilaporkan normal. Dr. Joni menanyakan soal penglihatanku, yang kujawab memang sudah mengalami penurunan visi. Kemudian ia meminta perawat untuk sekali lagi cek tensi dengan menggunakan batas atas (yang tidak kupahami maksudnya). Sambil turut mengamati, dr. Joni memberikan instruksi kepada perawat untuk melakukan tensi dengan benar. Dan saat hasilnya muncul, terkejutlah ia...ternyata hasilnya 180/100. Lalu ia meminta aku untuk tes urine. Namu karena aku belum mau pipis, maka aku disuruh minum yang banyak dulu. Setelah siap, aku pun ke toilet, lalu memberikan sample urine aku ke lab. Setengah jam kemudian muncullah hasilnya. Dr. Joni memanggil aku dan suamiku ke ruangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 21.30. Dengan menghela nafas, ia menyatakan bahwa kandungan protein urine aku +3. Artinya ada kebocoran yang dapat menyebabkan bayiku keracunan. Kondisi aku dinyatakan preeklampsia dan harus segera dilakukan tindakan cesar.
Tentu saja kami berdua terkejut. Usia kandunganku masih 8 bulan, dan kami belum ada persiapan apapun untuk kelahiran. Baju-baju bayipun masih baru saja dibeli oleh mertuaku dan masih di rumahnya, boro-boro dicuci. Tapi dr. Joni menyatakan bahwa kondisiku sudah emergency, meski aku tidak merasakan gejala-gejala yang mengkhawatirkan. Katanya tidak selalu bergejala, tapi hasil tensi darah dan urine sudah sangat mengkhawatirkan. Ia memberikan opsi untuk tindakan operasi, di RS Persahabatan atau RSCM. Sebab kalau di RS yang ini seluruh dokter bedah sedang melakukan tindakan di RS lain, termasuk dirinya yang akan melakukan operasi di RS Persahabatan. Aku yang tidak familiar dengan RS Persahabatan memilih untuk ke RSCM saja. Tapi entah kenapa saat itu aku masih bersikeukeuh tak akan melahirkan malam itu, jadi hanya konsultasi ke dokter di RSCM saja.
Meskipun saat itu aku ada BPJS, namun tak pernah terbayang akan menggunakannya untuk kelahiran, karena aku sudah bercita-cita melahirkan di RS Swasta ini. Maka ketika ke RSCM, yang pertama ditanyakan oleh petugas adalah surat rujukan dari faskes 1. Suamiku yang juga tidak pernah pakai BPJS kebingungan dan menelpon dr, Joni, yang kemudian minta bicara dengan petugas. Ternyata dr. Joni meminta dokter bawahannya di RSCM untuk menanganiku. Wow, luar biasa dr. Joni, ternyata beliau sudah sangat senior, tiba-tiba aku merasa menyesal sudah menggantinya dengan dokter yang kurang berpengalaman. Entah karena telepon sakti itu atau memang kondisi aku yang sudah gawat, aku langsung diberikan akses oleh petugas dan diprioritaskan. Karena aku tidak mengalami pusing, maka aku fikir hanya akan dilakukan tindakan perawatan untuk menurunkan tensi. Tapi ternyata saat ditensi kembali, tekanan darahku sudah mencapai 220/100, yang membuat para nakes di situ gelagapan dan berteriak PEB. Saat itu aku masih belum paham PEB itu apa. Ternyata singkatan dari preeklampsia berat. Mereka langsung memindahkan aku ke ruang pra ops, busanaku diganti busana operasi, dan langsung dipasang kateter. Tentu saja aku menolak, aku bilang aku masih bisa ke toilet, jangan pakai kateter dulu. Namun perawat bersikeras dan aku pun kalah.
Jadi ternyata gongnya malam itu, Selasa 17 Mei 2016 aku akan dioperasi caesar. Bagaimana coba memberitahukannya ke keluarga di rumah? Kami benar-benar tidak siap.
Semuanya terasa sangat cepat, bahkan aku seperti dalam mimpi. Meskipun aku melihat para nakes yang sigap menanganiku, aku seperti masih belum percaya bahwa nyawaku terancam. Bahkan aku sampai lupa menanyakan suamiku di mana. Ternyata kemudian kuketahui bahwa ia diminta menyiapkan seluruh dokumen untuk keperluan administrasi BPJS. Jujur saja ya, aku sebenarnya tidak mau pakai BPJS, karena takut tidak dirawat dengan benar. Tapi saat itu aku boro-boro memikirkan hal itu. Tidak tahu apa yang kufikirkan, yang jelas segalanya buatku seperti tidak nyata.
Comments