Mencari Telur Garuda
Rating: | ★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Nonfiction |
Author: | Nanang R. Hidayat |
Bagi yang belum membaca buku ini, maka ada baiknya saya kasih bocoran sedikit.
Buku ini adalah hasil dari keprihatin saudara-saudara kita atas fenomena hilangnya wujud "ideologi" bangsa, baik secara material maupun spiritual, yang karenanya, patut mendapat ucapan terima kasih dari kita semua. (mungkin sekalian sama undangan makan-makan..hahaha...hush!)
Padahal kita semua musti paham, bahwa ideologi bangsa adalah satu hal yang substantif, karena digali dari falsafah dan budaya bangsa yang ada turun temurun ditambah ide dan cita-cita yang diharapkan oleh para pendiri bangsa.
Bukankah begitu, sodara-sodara? (hehe...takut ditimpuk sama mas Anto nih)
Nah buku ini mencoba menyampaikan keprihatinan tersebut, dimulai dari sejarah terpilihnya burung Garuda itu sebagai lambang negara dan Pancasila sebagai ideologi negara. Perkawinan keduanya menghasilkan bentuk yang unik, yaitu sebuah sosok burung garuda menengok ke kanan (kenapa kanan? ya baca aja sendiri) dengan komposisi bulu-bulu yang disesuaikan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia dan yang paling menyolok adalah perisai Pancasila yang senantiasa menghias dada Garuda kesayangan kita itu.
Jika di tahun 80-an masa Orde Baru sosok Garuda Pancasila ini mendapatkan masa keemasannya, tidak demikian halnya sekarang. Meski masih tetap menghiasi setiap dinding di sekolah dan gedung-gedung perkantoran, Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang ini seperti kehilangan ruh-nya. Sehingga beberapa kali pernah diselenggarakan seminar, pentas seni maupun rubrik di surat kabar dsb yang menampilkan kisah sedih Sang Garuda Pancasila.
why??? why???
jawabannya ada di lubuk hati yang terdalam...(wuaa...beraaatss...)
Meski sebenarnya permasalahan yang ditampilkan adalah serius (ini lambang negara kita, Bos!), tapi disampaikan dengan cara yang semi santai dan dilengkapi dengan foto-foto patung Garuda Pancasila di beberapa daerah serta gambar-gambar garuda pancasila dalam berbagai persepsi masyarakat (termasuk anak-anak) atas lambang negara tersebut.
yang serius banget sih Kata Pengantarnya, memang...huehuehue..
(keyknya bener-bener ditimpuk mas Anto nih...)
kata orang pinter mah: "Thoughts become things"
kata Bung Karno: "Jas Merah"
maka, marilah kita semua kembali menghayati dasar-dasar negara kita tercinta ini, mengingati lagi perjalanan bangsa kita, dan semakin mencintai negara kita ini dengan segala kekurangan dan kelebihannya, menggali potensi diri demi tercapai cita-cita bangsa, yaitu masyarakat adil makmur sentosa yang gemah ripah loh jinawi...amin...
Hidup Indonesia!!! Merdeka!!! save the planet!!! Go green!!!
Nah ini review yang lebih serius...milik seorang teman (http://www.goodreads.com/review/show/37230226)
Th 2006 lalu saya terlibat cukup intens dlm acara Restorasi Pancasila, simposium nasional di UI yg gongnya adalah Pidato Pancasila oleh Presiden SBY di Plenary Hall Balai Sidang Jakarta Convention Center 1 Juni 2006 dan pembacaan Maklumat Keindonesiaan.
Rangkaian acara ini adalah upaya utk mengembalikan Pancasila sbg dasar negara kita, stlh disandera dan diberi penafsiran tunggal oleh Orde Baru yang membuat Pancasila seakan identik dg Orba dan pantas ditanggalkan pasca reformasi 1998. Uniknya bbrp aktivis yg menggarap acara ini adl org2 yg dulu pada th 1990-an sempat membuat smacam newsletter berlogo Garuda Pancasila dipanah (!) sbg protesnya thd rezim Soeharto.
Reaksi yg saya terima dr bbrp pihak saat penggalangan acara ini maupun sesudahnya, sama persis dg yg ditulis Nanang di pendahuluan buku ini: "Hare gene ngomongin Pancasila?" (h.1) Namun kenyataan belakangan ini membuktikan Pancasila ttp aktual dan penting utk dibicarakan.
Buku Nanang ini sendiri adalah salah satu upaya pembicaraan itu, dg memfokuskan pd soal visualisasi Garuda Pancasila (bgmn sejarahnya dan bgmn ia ditafsirkan dlm konteks lokal-partikular). Ini penelitian mahapenting, bukan cuma buat kita di sini tapi juga layak diinggriskan dan dipasarkan di studi2 Indonesia di universitas luar, namun dg sejumlah perbaikan. Maka kritik/masukan yg saya tulis sebaiknya dibaca dlm kerangka perbaikan tsb.
Soal penulisan
Nanang menggeluti dunia visual dan tafsiran2 yg diberikannya thd visualisasi Pancasila di buku ini bertolak dari bidangnya tsb, namun tak ada salahnya ia dibantu seorg penulis yg berlatar sejarawan/peneliti sosial utk memperdalam uraiannya. Saya pikir bbrp kutipan dari milis tak layak masuk krn hanya berdasarkan omongan (h.31-32), begitu juga ucapan Widyatmoko ttg pencetus sayap 17 helai, ekor 8 sisik dsb (h.36), atau uraian ttg logo Republik Mimpi "Konon kata perancangnya" (h.51, hrs disebutkan perancangnya itu siapa juga sumber otentik pernyataan tsb). Apalagi rujukan 'omong kosong' ttg organisasi internasional bernama International Illumination dan Luciferians Corp (h.79-80) bikin buku ini berkurang kesahihannya.
Jadi intinya: bbrp poin perlu diperdalam dg data. Karya nonfiksi bisa ditulis dg gaya paling serius sampe paling nyeleneh. Terserah, tapi data tetap penting. Misalnya h.49 saat Nanang mengkaitkan gapura Pancasila aneka warna di kampung2 dg kemenangan partai tertentu di kampung tsb. Nah ini saya kira perlu ada data riil hasil pilkada/parpol dominan di kampung tsb dan bukan cuma tafsiran. Begitu juga dg h.47 saat membahas gapura Pancasila hanya dg 1 sila di "gang di sekitar kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta". Mungkin perlu ada wwncara dg ketua RT atau warga.
Editor jg perlu lebih teliti. Masa yg begini2 lolos dari pantauan sih: blad eagle (h.10), multiple chois (h.38)
Soal tata letak
- Buku ini dimaksudkan sbg buku visual, tapi sayang bbrp foto yg dibahas/dianggap penting justru dipasang dg ukuran kecil (buku ini memang terbit dlm 2 edisi. Kata Miaa, yg HC lebih besar dibanding edisi SC yg saya baca ini, tapi bukan itu poinnya. Bbrp foto semestinya dipasang sebesar 1 kolom penuh dan bukan cuma nyempil di antara teks), misl. foto h.47, 2 foto dahsyat di h. 41, foto atas sisi paling kanan h. 14 dsb.
- Sbg buku visual, buku ini mengandung cacat banyaknya foto tanpa caption (keterangan letak dan tanggal pemotretan), apalagi di hlm khusus foto 115-133. Keterangan ini menurut saya esensial utk memahami visualisasi garuda itu dlm konteks sosialnya.
Beberapa hal yg jadi pikiran saya
1. Soal mengapa Garuda menghadap kanan? Nanang mmberi penjelasan bhw ini semata2 kebiasaan bangsa Indonesia bhw kanan dianggap baik sementara kiri sial, jahat, serong. Namun dlm konteks politik masa2 Revolusi, mengganggap kiri sial, jahat, dan serong tentulah tidak mungkin secara politik. Bahkan kabinet Ind saat itu pun bernama Koalisi Sayap Kiri. Jadi menurut saya penjelasan Nanang kurang memadai. Pasti ada alasan lain mengapa Garuda menghadap kanan. Di sini dibutuhkan campur tangan sejarawan. Bisa jadi –-dan saya duga demikian—- justru tidak ada penjelasannya. Gambar itu terjadi begitu saja hanya krn kebiasaan kita menulis dari kiri ke kanan.
2. Sehubungan dg poin no. 1 ini, Nanang juga tidak menjelaskan foto sangat penting yg dipajang besar2 di h.40: garudanya menghadap kiri! Foto gapura yg tanpa keterangan ini jelas butuh pembahasan khusus, serta wawancara dg warga atau ketua RT dsb.
3. Soal transformasi logo Garuda dan tak adanya penjelasan lengkap ttg siapa saja anggota Panitia Lencana Negara (h.19). Saat itu Pancasila sudah dirumuskan, tp dlm visualisasi perisai di versi 1 kita tak melihat adanya lambang bintang (Ketuhanan) dan silanya pun cuma 4. Dlm versi 2 padi dipisah dg kapas dan bintang tetap ga ada. Pada versi 3, 'Bhinneka' masih tertulis 'Bhineka'. Menjadi tugas penting utk membongkar arsip ttg anggota panitia ini dan perdebatan2 di dlmnya sehingga transformasi ini bisa dilacak asal usulnya.
4. Saya baru tahu kalau logo Republik Mimpi itu dimaksudkan untuk menggambarkan "semangat saling menghormati dan mempersilahkan orang2 utk maju" krn sayapnya yang menekuk seolah "sedang mempersilakan kita untuk berjalan di samping kirinya" (h.51) Saya selalu menyangka logo itu menggambarkan si burung sedang menguap krn ngantuk (Rep Mimpi kan?)
5. Apa mata saya salah liat? Garuda di h.119 sepertinya sedang menghisap pipa cangklong!
6. Foto h.121 kiri atas sepertinya memang bukan berniat bikin Garuda deh, tapi ayam yg emang banyak dipasang di jam (ketularan budaya Eropa) sbg tanda 'bangun pagi'
-----
Penelitian Nanang ini perlu diperluas. Saya pikir pemerintah juga berkepentingan dg proyek ini dan wajib mendanainya. Kita perlu tahu dengan jujur bgmn Garuda (yg dicomot dari mitologi Hindu/India dan didasarkan pada elang jawa) dipersepsi oleh org di Papua atau Aceh misalnya, pada masa2 pembentukan RI, masa Orba, sampai masa skrg yg punya sejarah kelam dg kekerasan militer berdasarkan Pancasila steril dan Jawanisasi ala Orba.
-----
Terakhir, saya ajak temen2 vote gambar Garuda versi anak2 SD mana yang jadi favorit? Saya vote karya Arif GS (h. 94 kiri atas) karena berani meletakkan pita Bhinneka di belakang garudanya. Saya juga vote karya Merizka (h.95 kanan atas) karena gambar burung dan bantengnya senyum2
Comments