The Year is 1994

 Apa saja yang terjadi pada tahun 1994? Wow...exactly 30 years a go. 

Saat itu aku berada di tahun terakhir SMA, usia menjelang 18 tahun. Aku punya gank yang terdiri dari 5 cewek (termasuk aku) dan banyak cowok (jumlah cowoknya nggak jelas, personil tetap mungkin hanya 5 orang saja).

Tapi yang jelas kehidupanku berputar bersama keempat temanku ini. Kami semua anak IPS, meski kami nggak bodoh dan nilai-nilai kami bagus, tapi kami juga bukan termasuk bintang kelas. Kebetulan SMA kami adalah yang terbaik di wilayah kota kami, kalau dulu istilahnya SMA favorit. Masuknya disaring dari nilai ebtanas murni (NEM) SMP. Jadi konon yang masuk SMA itu anaknya pintar-pintar. Tapi zaman itu sepertinya anak-anak belajarnya tetap santai, tidak terlalu kompetitif, dan masih banyak mainnya daripada belajarnya. Meski demikian kami ikut les matematika di salah satu guru matematika IPS, Ibu Penny (Rahimahallah), yang rumahnya di daerah Sukapura. 

Rumah kami sendiri ada yang di Koja, ada yang di Semper Barat, sementara tiga dari kami di Semper Timur. Markas kami adalah rumah salah satu dari kami yang berada di kompleks Airud, yang dulu merupakan kompleks kepolisian. 

Masa-masa itu adalah masa-masa yang komplit. Komplit polosnya, lebaynya, sotoynya, galaunya, pokoknya semua yang ada di fikiran remaja dikali 5 kepala saja. Chaotic lah pokoknya. Kami menikmati malam-malam saat kami menginap bersama di markas, tidur di loteng yang sebenarnya panas sih (kalau siang), tapi kalau malam lumayan sejuk dengan bantuan kipas angin. Selera musik kami berbeda-beda, ada yang suka hard rock, alternative rock, pop dan musik Indonesia. Tontonan kami saat itu apalagi kalau bukan MTV. 

Balik ke les MTK. Jadi saat itu anak SMA pulangnya jam 12.45, sementara les baru jam 15.30. Jadi kami pulang dulu, makan,  istirahat dan mandi, lalu berangkat les. Itu teorinya. Kalau cuaca panas atau hujan, biasanya kami bolos. Soalnya nggak pakai hujan aja kami sering terjebak kemacetan (saat itu kami naik metro mini T-41 yang panas dan bau CO). Kalau jam pulang les itu macetnya puanjang banget, karena bersamaan dengan bubaran pabrik. Jadi ya, virus malas itu gampang sekali membius kami. Kecuali satu orang. Hanya dia yang konsisten hadir les, dalam kondisi apapun. Kelak dia menjadi salah satu pengusaha sukses di Indonesia. Memang keuletan dan kegigihannya sudah terlihat sejak remaja. 

Selain les MTK, aku juga ambil les bahasa Inggris di LIA Jl. Pramuka. Les tersebut aku ikuti sejak kelas 2 SMA. Jam masuk les LIA adalah 13.30. Maka, setiap hari Selasa dan Kamis, bersama dengan teman-teman yang mengambil hari les yang sama, begitu bel pulang sekolah berbunyi, kami berlarian ke arah halte bus untuk mengejar bus Patas 38 jurusan Tg. Priok - Blok M. Bus tersebut berhenti tepat di depan LIA.  Atau kalau bus tersebut lama (karena jarang), kami naik patas 50 jurusan Pulo Gadung, berhenti di perempatan Rawa Mangun lalu nyambung bus ke arah Senen atau Blok M. Sudah pasti kami harus berdiri, berdesakan dengan banyak anak sekolah lain  yang juga pulang sekolah. Kadang aku terlambat sampai di LIA, tapi seringnya sih on time. 

Menginjak tahun 1994, sebagai tahun senior, kami punya beban. Selain harus lulus SMA, kami juga harus lulus UMPTN (sekarang namanya SMBPTN). Kami mulai mencari tahu tentang kampus-kampus negeri di Indonesia. Pilihan pertama aku adalah Fakultas Sastra UI, jurusan Bahasa Inggris. Pilihan Kedua Fakultas Ekonomi Unila, jurusan Manajemen. Pilihan kedua ini terus terang disarankan oleh ayahku, karena beliau saat itu sedang ditempatkan di Panjang, Bandar Lampung, jadi katanya biar sekalian nengokin aku kalau aku berhasil masuk Unila. 

Banyak di antara kami yang ikut Bimbel supaya bisa lulus UMPTN. Salah satu yang paling populer di SMA kami adalah Nurul Fikri. Tiga di antara kami berlima ikut bimbel tersebut, sementara aku yang sudah les LIA, merasa tidak enak hati kalau minta uang orang tua lagi untuk ikut bimbel. Aku adalah anak kelima dari lima bersaudara. Kakakku dua orang masih kuliah, jadi rasanya tidak sampai hati kalau harus memberatkan mama aku lagi. 

Selain bercita-cita kuliah di PTN, namun kami juga harus menyiapkan kampus swasta cadangan apabila kami tidak lulus UMPTN. Maka kami mulai cari tahu tentang kampus-kampus lain. Saat itu aku mengincar ABA (Akademi bahasa Asing), APP (Akademi Pimpinan Perusahaan), YAI (Yayasan Akuntansi Indonesia) dan STEI (Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia). Saat itu kami survey ke kampus-kampus tersebut, ada yang di Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Kami survey berlima, kadang bersama satu atau dua teman lelaki. Kadang naik bus, pernah juga nebeng mobil pacarnya teman kami. Yang jelas tidak ada satupun dari kami yang diantar orang tua atau keluarga untuk survey kampus-kampus tersebut. Kami juga mengikuti pra UMPTN dari Teknos yang diadakan di Stadion Senayan, pada saat itu namanya belum Gelora Bung Karno. Itu juga sama teman-teman saja, tidak pernah melibatkan orang tua. 

Singkat kata, saat UMPTN ternyata berbarengan dengan event World Cup 1994. Aku yang saat itu keranjingan tim Italia, terutama Roberto Baggio, mau nggak mau ngikuti sepak terjangnya selama event tersebut. Ndilalahnya, malam pas mau UMPTN ternyata adalah malam final Piala Dunia, yang menampilkan pertandingan antara Italia dengan Brazil. Sayangnya saat itu Brazil menang 3-2 melalui adu pinalti. Aku nonton pertandingan itu sampai habis, dan sempat ikut nangis saat Roberto Baggio yang merupakan kapten kesebelasannya gagal mengeksekusi tendangan pinaltinya. Pertandingan itu ditayangkan dini hari, dan kalau aku nggak salah ingat, baru selesai pukul 03.30. Padahal jam 08.00 aku harus sudah berada di sebuah SMP di Rawasari untuk ujian UMPTN!

Ghelaa nggak tuh??!!

Walhasil aku terlambat dan berlari-lari ke kelas. Untungnya sehari sebelumnya aku sudah survey ke SMP tersebut bersama temanku Yulia, si anak tekun yang nggak pernah bolos les itu...kebetulan kami dapat kelas yang sama, bersama-sama siswa dari SMA lain di Jakarta. 

Pada zaman itu belum ada internet ya di Indonesia. Segala sesuatu masih analog dan belum digital. Mungkin satu-satunya yang digital adalah kalkulator dan jam tangan. Pengumuman kelulusan baru diumumkan di surat kabar nasional kira-kira dua minggu atau sebulan setelah UMPTN yang diikuti hampir seluruh siswa SMA di seluruh Indonesia. Aku lupa biaya UMPTN berapa, kalau tidak salah Rp. 30.000,00. Kalau sekarang biaya SMBPTN minimal Rp300.000,00. Untuk ujian mandiri biayanya kurang lebih sama. Jadi kalau sekarang itu kampus-kampus negeri buka ujian mandiri, dengan skema biaya yang berbeda dari kelas reguler. Ini adalah cara mereka untuk mendapatkan dana mandiri dan tidak bergantung kepada negara. Sepertinya kebijakan swastanisasi ini baru mulai tahun 1996 atau 1997 deh, saat kampus UI buka jalur ekstension. Kalaupun ada swasta, bentuknya adalah vokasi atau D3. Itu sudah ada di FISIP UI yang membuka kelas-kelas D3 dengan biaya yang sama mahalnya dengan kampus swasta. 

Kalau mau tahu, 30 tahun yang lalu itu biaya UKT kampus negeri berkisar dari Rp100.000,00 sampai Rp500.000,00 per semester. Aku nggak tahu ya kalau fakultas kedokteran atau ilmu-ilmu eksakta. Yang aku tulis ini untuk ilmu-ilmu sosial.

Nah sejak malam sebelum pengumuman UMPTN aku sudah mules-mules dan deg-degan takut tidak lulus. Aku mulai menyesal kenapa malam mau ujian aku malah begadang nonton piala dunia, jadi kelelahan dan ngantuk selama ujian. Tapi sesal kemudian tak berguna. 

Hari H pengumuman kelulusan UMPTN, ayahku membeli surat kabar nasional, aku lupa Kompas atau Suara Pembaruan. Jari-jariku menyusuri deretan nomor-nomor UMPTN dan ribuan nama. Lembar demi lembar aku susuri dengan jantung berdegup kencang dan mata yang mulai juling saking kecilnya tulisan di koran tersebut. Setelah lembar ke sekian, ternyata ada namaku! Jari-jariku terus menyusur ke sebelah kanan, dan di sanalah kampus tujuanku: Universitas Lampung, Fakultas Ekonomi, jurusan Manajemen. 

Alhamdulillah enggak ya? hahaha...

<bersambung>



Comments

Popular posts from this blog

Marriage and Loyalty

Is Marriage Scary?