Segelas Beras Untuk Berdua

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Sindhunata
(review favorit saya, milik seorang teman)

Memulai...

Membacanya saya menyepakati anjuran Ki Ageng Banguntapan. Membacalah dari yang paling suka. Biarkan hatimu bicara untuk persoalan yang konon penuh dengan kesempitan.

Memulakannya dari cerita pertama, ah...tak tahan saya. Menarik napas barang sebentar. Mana ada yang lebih miris dari pandangan syahdu merindu bulan dari sepasang mata yang tidak lagi bersahabat dengan cahaya? Mana ada yang sanggup menahan keromantisan sepasang buta dari lereng Merapi, Mbok Tukinem dan Pak Suwito.

Bab berganti, bab terlewati. Tak semuanya air mata. Tak semua yang papa adalah mulia. Tapi dari mereka pun masih bisa dipetik pelajaran. Kesempatan bukan hanya ada dalam kelapangan. Kesempatan adalah sebuah pilihan, meski itu dalam kesempitan.

Dari yang mulia, kita bisa tahu bahwa Tuhan melapangkan mereka yang sanggup senyum di tengah kesempitannya. Jembar hati. Nrimo ing pandum.

Untuk Mbok Tukinem dan Pak Suwitoutomo, sebaris tembang dari Bang Iwan,

Jalan berdampingan
tak pernah ada tujuan
Membelah malam
mendung yang selalu datang
Ku dekap erat
Ku pandang senyummu
dengan sorot mata
yang keduanya buta
Lalu kubisikan sebaris kata-kata...

Gusti paringono sabar lan sapi...:D

Nggeh Mbok, saya ngguyu, saya tertawa untuk diri saya. Tertawa miris betapa saya miskin untuk laku nrimo dan jembar hati yang mbok miliki.

Saya tak mau berlagak sedih dan punya segudang kasihan untuk orang semacam Mbok Ayu Tukinem. Mereka jauh lebih kaya dengan sagon bertabur cinta, nrimo dan kejembaran hatinya. Jangan-jangan, kasihan dan air mata yang hendak menitik adalah sebentuk iri akan kekayaan mereka yang tak mampu dibeli kecuali dengan laku. Satu-satunya kefakiran mBok Ayu Tukinem adalah dihadapan-Nya. Bukan di depan dunia.

Yo ngguyu meneh, dilanjut bacanya!

*Ampe di Garcia Lorca*
Sampai beberapa bab terakhir setelah lompat sana-sini saya memerlukan untuk istirahat. Terharu? Mungkin. Walaupun sempat menemukan sebuah kata "kasihan" terserak yang menurut saya salah tempat (hal. 35). Saya lebih menikmati geguyon dan nasehat dalam tulisan tentang Bruder "Bagio" Reso. Gembira dan sedih demikian cepat berganti dalam ceritanya. Senyum yang hadir di wajahnya adalah buah pesan neneknya, "Le tansah nyoba gembira ing dria, sumunaring surya, yen wis ngana, atimu dadi ayem, gampang bisa mesem (Nak cobalah selalu gembira di hati bercahaya di wajah, agar hatimu bisa menjadi tentrem, mudah tersenyum)."

Kacamata yang digunakan memang kacamata keharuan, kekaguman perjuangan di tengah kesempitan. Kesempitan yang bisa melanda siapapun, Putri Diana yang selalu disorot kamera, pengabdi kemanusiaan semacam Bunda Theresa yang terdampar di surga bernama Kalkuta, atau bahkan Nenek Aminah, pengayuh rakit di Kali Bekasi. Semua nilai kemanusiaan dalam cerita-cerita dalam buku ini bermuara seperi apa yang diucapkan oleh istri Mbah Setro, "Masak kalau kami diberi bingkisan yang ada ikan ayam-nya kami tega memakannya begitu saja?" Matematika kemanusiaan bermuara pada berapa yang kita berikan bukan berapa yang kita terima, begitu Mbok Khatijah seolah menjawab kenapa ia mesti menyumbang Rp 20.000 hingga Rp 25.000 untuk setiap hajatan.

Saya malah jadi ngungun sendiri, bukan untuk mereka yang ada di cerita itu. Tapi untuk diri saya sendiri. Berapa banyak cerita orang biasa yang bersliweran di sekeliling saya yang batal saya kenang atau catat. Betapa sebenarnya pelajaran itu pating-sliwer di depan mata sementara saya cuma bengong tak peduli. Cerita yang sebenarnya sering kita temui disetiap hilir-mudik saya, tapi terlewat entah karena apa.

Yah, saya kagum dengan sentuhan manusia pada setiap cerita itu. Bahwa untuk menjadi manusia (wong) adalah karunia yang dinikmati setiap manusia besar dan kecil. Bukan cuma kisah kaum besar yang mengubah sejarah, karena sejarah itu milik orang banyak. Persoalan korupsi sejarah, seperti dagelan cum kritik Pak Guno di depan para sejarawan, kiranya akan bisa dikurangi jika banyak suara "kaum marginal" juga punya tempat memadai dalam sketsa besar ruang Sejarah Indonesia. Saya malah merasa cukup disentil ketika Sindhunata menulis tentang Pak Chondro yang tukang reparasi radio tabung menjelang Hari Radio. Untuk sebuah peringatan, profesi Pak Chondro yang nyaris punah seiring perkembangan teknologi adalah sebuah bagian besar yang jarang tercatat. Ketika Sindhunata menulis Pak Chondro, tulisannya adalah tulisan tentang radio dan kemanusiaan yang hidup di sekitar radio.

Sejarah adalah persoalan mencatat, sejarah individu adalah persoalan mencatat dengan kepekaan untuk menelusup ke relung kemanusiaanya.

Bila konon, Ronggowarsito pernah berujar, "mrono-mrene dhurung tau ktemu wong (ke sana-sini belum pernah bertemu manusia)." Ia mungkin perlu bertemu Sindhunata. Pasti ia nanti berucap, "Le, le, kowe kok iso ktemu wong akeh men tho? mbok aku diajarno ben iso ktemu wong(Nak, nak, kamu kok bisa ketemu manusia yang banyak sih? Aku diajarin biar bisa ketemu manusia)." Begitu?

*Tamat*

Sindhunata menulis featurenya yang dirangkum buku ini dalam rentang waktu 11 Februari 1978 hingga 23 April 2005. Sepanjang itu apa yang didapatkannya?

Seorang kawan saya yang hanya sempat menjadi wartawan kontrak di harian Sindhunata menuliskan featurenya pernah menceritakan pengalaman ia diucapkan terimakasih oleh ibu yang anaknya mendapatkan sumbangan darah ketika dirawat di sebuah rumah sakit. Cerita ucapan terimakasih itu rasanya mengalahkan segala getir yang membuat ia tidak bisa melanjutkan profesi kewartawanannya. Teman saya itu bukan lagi wartawan, entah masih menulis pun saya tidak tahu. Kami hanya bertukar kabar ketika ada resepsi dan cit-cet lewat milis yang kami ikuti. Namun cerita itu tanda hidup ketika ia berhasil dalam sebuah tulisannya menyentuh kemanusiaan orang lain. Mungkin tidak sedalam feature yang dibuat Sindhunata, tapi saya tidak lupa antusiasme kawan saya ketika bercerita. "Menyentuh kemanusiaan orang lain ternyata demikian membahagiakan," gumam saya memperhatikan wajah sumringah kawan saya yang baru saja menjadi mantan-wartawan. Demikian juga, menyentuhnya meski lewat bacaan yang dituliskan Sindhunata.

Mengutip semangat yang disampaikan review ini saya hanya ingin berucap, "Selamat mencoba menjadi manusia dan menuliskan kemanusiaan!"

Comments

Popular posts from this blog

Marriage and Loyalty

The Year is 1994

Is Marriage Scary?