The Year is 1994 (2)

Alhamdulillah aku diterima di FE Unversitas Lampung. Saat itu jurusan yang aku ambil adalah Manajemen. Aku merasa campur aduk, antara sedih, gembira dan khawatir. Sedih karena gagal masuk FSUI (Sastra Inggris), gembira karena lulus pilihan kedua, dan khawatir karena aku belum pernah sekalipun menginjak luar Jawa. 

Di tengah ucapan selamat kepadaku atas kelulusan UMPTN, tetap saja ada beberapa teman yang sering meledek pilihanku. Mungkin karena Unila bukanlah pilihan yang populer, apalagi saat itu Lampung bukanlah kota besar seperti Bandung, Semarang, Malang, atau Jogjakarta. Aku sendiri lupa, apakah aku satu-satunya yang masuk Unila dari seluruh siswa di SMAku, yang jelas memang aku tidak menjumpai teman satu SMA di Unila kelak, baik kakak tingkat maupun seangkatan.

Sahabat-sahabatku sendiri lulus Universitas Negeri juga. Diana masuk Fisip Unibraw, Yulia masuk Sastra UI, Dinar kemudian mencoba D3 Fisip UI, dan lulus, sementara Eny memilih ASMI yang saat itu merupakan salah satu kampus swasta favorit juga. Oleh karena itu aku semakin insecure karena merasa kampus pilihanku kurang bonafid, meskipun universitas negeri. Kadang aku merasa bersyukur, tapi sedih juga. Sampai aku kerap menulis di buku diariku bahwa "It's not a pride, when nobody appreciate it". Sedalam itu candaan teman-teman memengaruhiku. Kalau anak sekarang bilangnya mungkin aku sudah kena mental...hehe.

Singkat cerita mamaku mendampingi aku saat daftar ke Unila. Kami benar-benar belum pernah menginjakkan kaki di luar pulau Jawa, terlebih Bandar Lampung. Saat itu ayahku sedang bertugas dan tidak bisa mengantar, maka mama yang mengambil tanggung jawab itu.

Perjalanan ke Lampung kami lakukan dengan menumpang transportasi umum. Pertama kami ke terminal bus Tg. Priok naik bus tujuan Pulogadung, lalu dari situ naik bus AJA tujuan pelabuhan Merak. Lama perjalanan kira-kira 3 - 4 jam dari Pulogadung ke Merak. Sampai Merak kami naik kapal Fery menyeberangi Selat Sunda menuju pelabuhan Bakauheni, Lampung. Lama perjalanan kurang lebih 2 jam. 

Sampai Bakauheni kami naik bus lagi ke arah Tanjung Karang/Rajabasa. Oiya sebelum melakukan perjalanan ini mama sudah konsultasi dengan teman kakakku Mashar, namanya Mas Basuki yang kebetulan memiliki saudara di Lampung. 

Perjalanan dari Bakauheni ke Rajabasa memakan waktu sekitar 3 jam. Total perjalanan memakan waktu 8-9 jam. Itu kalau tidak macet. 

Sebenarnya asik-asik aja sih, cuma masalahnya kami membawa cukup banyak barang untuk persiapan aku kuliah. Saat itu kami belum ada bayangan mau kos di mana. Rencananya kita bertemu Mas Basuki dulu. Eh aku lupa, sebenarnya Mas Basuki ini menemani perjalanan atau ketemu di Lampung yah? Hahaha lupaa..🤣

Kosan yg aku dapatkan terletak di daerah komplek dosen Unila. Karena saat ke sana itu pas musim kemarau, jadi cuaca puanas banget. Aku hanya kebagian kamar ujung yang terkena sinar matahari siang yang panas, karena semua kamar sudah penuh. Tapi mau bagaimana lagi, badan sudah lelah, boro-boro mau cari kosan lain. Jadi terima saja meskipun menyebalkan, karena biaya kos harus dibayar di muka untuk setahun, sebesar Rp400.000,00. 

Aku lupa mama menginap semalam atau dua malam, yang jelas beliau rahimahallah yang mengajak aku berbelanja kebutuhan sehari-hari untuk sebulan, termasuk membeli karpet untuk lantai kamar, yang saat itu hanya diaci semen. Kelak 27 tahun kemudian aku pun melakukan hal yang sama untuk anak perempuanku Kyara, yang berkuliah di Unnes Semarang. Entah kenapa aku skip lakukan ini ke Faza, mungkin karena kosannya di Jakarta ya, dan dia anak laki-laki, jadi perlakuannya beda 😅

Komplek dosen Unila terletak di belakang kampus Unila, kalau mau ke kampus harus berjalan mungkin sekitar 1 - 1,5 km baru sampai ke FE. Untungnya ada anak baru juga dari pulau Jawa yang tinggal di kosan itu, jadi aku sering jalan bersamanya. Oiya, kalau di Lampung itu, kita nggak dibilang asal Jakarta, atau Bogor atau Tangerang. Pokoknya semua dibilang "dari Jawa". 

Tetangga kos aku ini namanya Qori, sesama FE dan berasal dari Tangerang. Kamarnya pas di sebelah aku. Dan karena kamarnya lebih sejuk, maka aku lebih sering main di kamarnya kalau siang. Tidak lama kami menjadi sahabat. Hanya saja Qori ini anaknya alim banget, ia berhijab syar'i dan akibatnya jarang diajak kakak-kakak kosan yang masih bergajulan untuk sekedar jalan dan jajan-jajan. Mereka seringnya mengajak aku, yang tentu saja tidak menampik kesempatan itu untuk mengenal Lampung lebih baik lagi. Walhasil aku cukup mengenal kota Bandar Lampung, Pasar Bambu Kuning, Tanjung Karang dan Teluk Betung dll. Saat itu di Lampung baru ada satu pusat perbelanjaan, aku lupa bentuknya sudah mal atau sekedar swalayan saja. Yang jelas hampir setiap minggu aku belanja di situ, meski kadang cuma beli tissue atau body lotion saja. Fyi, zaman itu bahkan Dunkin Donuts saja belum masuk Lampung. Kami harus menitip teman yang kembali dari Jakarta kalau mau makan donat itu. Biasanya ini golongan pengguna Damri yang poolnya di Gambir. Kalau sekte Bus mah susah, mana ada DD di terminal Pulogadung. 😁

Aku akui, di kosan inilah aku mulai belajar merokok, yang rokoknya aku bawa dari rumah. Merknya Ardath, aku lupa punya ayah atau kakakku, yang jelas aku ambil dari atas lemari setelah berminggu-minggu diletakkan di situ. Kali pertama mencoba rokok aku terbatuk-batuk, karena asapnya luar biasa banyak, maka aku kapok. Lalu aku lihat kakak-kakak kosan merokok juga, ada yang A Mild, Jarum Super, Djisamsoe dan Gudang Garam. Maka aku kemudian mencoba A Mild, yang menurutku lebih ramah asapnya. Entah kenapa kemudian malah Djisamsoe filter yang aku hisap sehari-hari. Ada rasa yang tidak bisa dijelaskan saat menghirup asap rokok lalu menghembuskannya. Kadang aku terkesima dengan asap putih yang kuhembuskan, yang meliak liuk gemulai, lalu hilang. Kadang asap itu menjelma menjadi wajah-wajah yang kurindukan. Wajah mama, ayah, kakak-kakak dan teman-temanku di Jakarta. Kadang menghisap rokok hanya sebagai pelampiasan kekesalan atas nilai kuis yang tidak memuaskan, atau perilaku kakak-kakak tingkat yang menyebalkan. Kuakui ini bukan kebiasaan yang baik, tapi aku hanyalah remaja yang tengah mencari jati diri.

Namun aku tidak pernah mencandu rokok. Saat tidak merokok, aku tidak terlalu menginginkannya, sampai ada teman yang menawarkan rokok. Aku tidak pernah mengharuskan diri merokok sehabis makan, atau saat tertekan. Bagiku rokok adalah peranti sosial, yang membuatku bisa mudah memasuki circle pertemanan yang "asik" bagiku saat itu. 

Kakak-kakak kosankulah circle yang asik itu. Mereka selalu mengajakku jalan ke kota, berburu duren, makan bakso atau pempek terenak di Tg Karang dan Teluk Betung, bahkan menghadiri acara ulang tahun temannya. Mereka mengajariku cara menghadapi orang Lampung atau Sumatera yang memiliki sifat berbeda dengan kebanyakan orang Jawa. Jangan salah, mereka mahasiswa berprestasi, IPKnya di atas 3,5 semua, dan menurutku mereka (Kak Retta, Kak Dian dan Kak...aku lupa yang satunya lagi) adalah contoh paling nyata "work hard play hard" versi mahasiswi Unila. Meski mereka jago main dan gaul, kalau saatnya belajar atau mengerjakan tugas, mereka sangat-sangat serius. 👍

Saat di Lampung, aku melanjutkan kursus bahasa Inggris aku di LIA. Kalau tidak salah level aku saat itu adalah Intermediate 4. Gurunya cantik sekali, mantan finalis Putri Indonesia, lupa tahun berapa. Selain cantik, ia juga pandai membuat suasana kursus menjadi menyenangkan. Seringkali ia mengajak kami bernyanyi agar suasana menjadi ceria dan bersemangat. Aku ingat ia mengajarkan kami lirik lagu Can't Take My Eyes Off of You dan Stoney. Sampai sekarang aku tak pernah lupa liriknya.

Biasanya sepulang kursus aku membeli nasi goreng di dekat LIA, harganya saat itu Rp700,00. Telur dipisah. Nasi gorengnya harum merica dan menurutku sangat enak. Tapi biasanya aku bungkus utk kumakan di kosan, sebab jam pulang kursus adalah pukul 20.30, yang bagi kebanyakan orang Lampung saat itu sudah cukup larut utk berkeliaran di jalan. Alhamdulillahnya angkot masih ada, meski tidak banyak. Kadang aku harus jalan kaki sekitar 200 meter dari depan jalan raya ke kompleksku, melewati jejeran pohon jengkol yang baunya sangat menusuk apabila habis hujan. Tapi seringnya aku diantar oleh sopir angkot sampai ke depan gerbang kompleks dosen. Sebab malah mereka yang ketakutan terjadi kejahatan kepadaku, karena zaman itu masih sangat lazim orang bepergian membawa senjata tajam, dan lepas magrib sudah tidak ada warga lokal yang bepergian, kecuali naik mobil pribadi. Sungguh beruntungnya aku selalu bertemu dengan orang-orang baik yang mencemaskan keselamatanku, meskipun mereka tidak kenal aku, mungkin juga doa2 mama dan ayah yang turut melindungiku saat itu. Masya Allah tabarakallah.

Oiya, angkot di Lampung saat itu cukup keren ya. Sepertinya para sopir angkot berlomba-lomba membuat angkot mereka secantik mungkin. Ada yang dihias karpet, lampu disko atau neon, dimodif bemper, joknya ditambah busa dan diganti covernya dengan desain menarik, bodi angkot diberi cutting stiker keren dan kaca-kacanya dibuat gelap. Tak lupa sound system ciamik yang menyajikan dentuman house music. Buat anak muda seperti aku sih aman-aman aja, nggak tau kalau orang-orang tua ya, apakah mereka nyaman dengan musik yang kencang-kencang itu. Saking kerennya angkot-angkot itu, banyak gosip beredar bahwa tidak sedikit mahasiswi yang pacaran dengan sopir-sopir angkot itu...🤭

Selain bergaul dengan kakak kosan, aku juga punya banyak teman di fakultas. Sering pula aku main ke kosan mereka, dan umumnya keluhan mereka sama, yaitu susah air. Seringkali mereka kuliah tanpa mandi. Kalau aku sih tidak bisa. Lebih baik aku jalan kaki jam 4 subuh ke sumur artesis yang jaraknya 150 meter dari kosan untuk mandi, daripada kuliah nggak mandi dan sikat gigi. Itu kalau aku bangun kesiangan sehingga kehabisan air di kamar mandi. Tapi biasanya aku bangun jam 3.30 saat air diselang dari tower, sehingga bisa mandi dan buang air besar dengan leluasa. Meski demikian kita semua tetap harus berhemat dan memikirkan yang lain. Jadi saat itu aku biasakan mandi hanya dengan hitungan 10 gayung. Kadang kalau bak air tidak terisi penuh karena dari towernya belum ngisi lagi, aku harus menunda BAB. Biasanya jam 4 subuh aliran air dari tower berhenti, dan hanya menyisakan setengah bak saja untuk mandi 5 orang anak kos. Bagi yang kehabisan air, terpaksa naik ke tower tadi dan mandi di sumur tersebut tanpa pembatas, jadi mandinya pakai kain. Minimal kami harus berdua kalau mau ke tower, agar saat yg satu mandi, satunya mengawasi. Tentunya bukan cuma kami anak kosan yang mau mandi di tower. Untungnya saat itu tidak ada orang jahat, dan kami alhamdulillah terhindar dari kejadian yg tak diinginkan.

Ada temanku namanya Siska, ia berasal dari SMA favorit di Lampung dan memang anaknya cerdas. Aku beberapa kali main ke rumahnya yang cukup berada, kalau dilihat dari isi kulkasnya...hehe. Saat itu tolok ukur orang kaya buatku selain punya mobil, adalah isi kulkasnya. Kalau penuh seperti kulkas supermarket, berarti mereka orang kaya. Kulkas Siska seperti itu. Tapi yang membuatku sering main disana sebenarnya adalah: aku bisa numpang buang air besar! Hahaha

Tidak seperti di kompleks dosen yang mengandalkan sumur artesis yang dibagi-bagi ke seluruh penghuni kompleks, di rumah Siska sudah pakai air PAM. Yang jelas mereka tidak terpengaruh dengan musim kemarau. 

Btw ternyata kalau kita tidak BAB seminggu, kita bisa pingsan lho. Kejadian padaku yang pernah sekitar 6 hari tidak BAB karena kehabisan air terus, dan entah kenapa tdk bisa ke rumah Siska, tubuhku seperti melayang, selain keringat dingin. Sampai akhirnya aku begadang demi menunggu air diselang dari tower, lalu dengan terhuyung-huyung ke toilet dan demi Allah, aku hampir pingsan saat jongkok di toilet. Jadi jangan ya dek ya menahan BAB, dengan alasan apapun, sebab pingsan di toilet itu sangat tidak elegan sekali ya kan.

Mungkin kejadian itu menyebabkan aku trauma dan tidak tahan lagi dengan urusan air ini. Maka pada suatu hari saat mengambil uang wesel di kantor pos seberang kampus, aku sekalian menelpon ke rumah. Kebetulan mama yang angkat. Setelah berbasa basi, aku bertanya, 

"Ma, kayanya aku sudah nggak tahan tinggal di sini. Boleh nggak aku pulang aja dan ikut UMPTN lagi tahun depan?"

Tanpa dinyana dan diduga, mamaku mengiyakan! 

(Bersambung)







Comments

Popular posts from this blog

Marriage and Loyalty

The Year is 1994

Is Marriage Scary?