Is Marriage Scary?

Saya tergelitik untuk menulis tentang ini, gara-gara topik Si Paling Komen di acara Kis in The Morning Jumat lalu. 

Jadi host acara tersebut, abah Udjo & uni Ivy Batuta ambil topik ini karena ramai di sebuah platform sosmed, ada seseorang yang bertanya tentang penyesalan terbesar dalam hidup. Kebanyakan menjawab: penyesalan terbesarnya adalah menikah.

Kalau cuma satu atau dua orang aja yang menjawab demikian mungkin nggak masalah ya. Tapi ini banyak...sampai-sampai kedua host Kis tersebut penasaran dan melemparkan topik is Marriage Scary?
..dan tahu nggak jawaban pendengar Kis (yang kebanyakan ibu-ibu)? Yep, they mostly answered yes.

Banyaknya jawaban yes ini membuat kedua host jadi agak khawatir nantinya orang-orang malah beneran takut menikah, dan akhirnya mengubah topik menjadi: Apa kesulitan terbesar dalam perkawinanmu (yang sudah kamu lewati)?

Wah.

Saya sendiri paham, mengapa perkawinan yang bermasalah atau gagal itu menyakitkan, bahkan traumatis. Tapi kalau mendengar sendiri betapa banyaknya perkawinan yang bermasalah di sekitar kita, rasanya agak merinding juga yah.

Beberapa waktu lalu saya pernah ikut KBM (Kelompok Bisa Menulis) di FB, tapi tidak lama saya keluar. Why? Karena terlalu banyak kisah-kisah tentang permasalahan rumah tangga yang ditulis oleh anggota KBM tersebut, selain kisah-kisah yang menjurus ke tulisan hampir syur. Malas betul bacanya, mana namanya penulis amatir, belum terlalu bagus juga tulisannya.

Mayoritas ceritanya tentang perselingkuhan, poligami, KDRT, mertua jahat, tetangga jahat dsb.  Muter-muter itu-itu saja ceritanya. Seolah laki-laki itu memang hobinya selingkuh, perempuan kalau sudah nikah jadi dasteran mulu dan sibuk ngurus anak, lalu yang namanya mertua dan ipar itu rata-rata jahat. Enggak jauh-jauh dari tema-tema sinetron deh.

Apakah dunia sekeji itu?

Apakah pernikahan semengerikan itu?

Bahkan saya yang pernah mengalami kegagalan dalam perkawinan saja bisa kok mengakui masa-masa bahagia semasa bersama mantan suami.

Beberapa tahun lalu saya pernah menulis sebuah cerpen dalam antologi memoir La Tahzan For Single Mothers by Sylvia Namira.
Isinya ya kisah-kisah self-surviving gitu deh dari beberapa single moms.
Salah satunya tentu saja, kisah saya.

Ada satu kesamaan dalam antologi cerpen tersebut, yaitu bukannya berisikan kisah-kisah sedih, tapi sebaliknya, semuanya adalah kisah tentang kekuatan, keikhlasan dan penerimaan.  Padahal kami tidak dibriefing sama sekali saat menulis kisah kami. Pokoknya diminta cerita aja, dan ternyata hasilnya serupa.
Artinya apa?

Perempuan itu, selemah apapun ia tadinya, sebagaimana pun penakutnya, akan kuat saat menjadi ibu.
Yah mungkin ada satu atau dua yang tidak mampu melepaskan diri dari kecemasan dan kekhawatirannya kalau-kalau ia tidak bisa mandiri, tapi sebagian besar perempuan yang saya kenal, mampu menghadapi gempuran masalah kehidupan sendiri. Apakah itu masalah karir, perkawinan, pertemanan dan sebagainya.
Meskipun sebenarnya tidak ada kita yang benar-benar sendiri. Jika tidak ada orang tua tempat kembali, ada sahabat tempat berkeluh kesah, jika sahabatpun tak punya, ada Allah yang Maha Penolong, dan jika Allah pun belum dapat kita temui, ada buku harian tempat mencurahkan segala isi hati. Yang penting jangan lampiaskan kemarahan dan kesedihan kita kepada anak-anak. Karena merekalah justru penguat kita.

Tidak ada hidup yang mudah sih. Setiap orang punya "pertempurannya" masing-masing, dan setiap orang diuji menurut kesanggupannya masing-masing. Suami atau istri yang zolim hanyalah ujian belaka, namun musuh terbesar adalah ketakutan yang senantiasa menyelinap ke dalam hati.

Saya tentu saja tidak tahu bagaimana sulitnya perjuangan setiap rumah tangga. Tapi yang saya tahu di situ ada kerja keras, kompromi, kesabaran dan penerimaan yang luar biasa besar demi mempertahankan keberlangsungan perkawinan.

Setiap orang punya batas, akan halnya saya, batasannya adalah syariat. Allah sendiri membenci perceraian, namun tidak mengharamkan. Kadangkala, melepaskan lebih baik daripada mempertahankan, dan ke depannya, apapun pilihan kita, semua akan baik-baik saja. Insya Allah.

Pada akhirnya, bagi yang sedang mengalami ujian dalam perkawinannya, saya doakan semoga lekas terurai segala permasalahannya, dan semoga Allah berikan jalan keluar terbaik ya. 

Teori saya, apapun akan terasa lebih ringan dengan dua hal ini: menerima seutuhnya, atau melepaskan sepenuhnya.
Namun keduanya butuh keyakinan kuat. Dan adakah keyakinan yang paling utama, selain percaya kepada skenarioNya? 


Allahu a'lam bissawab.


Comments

Popular posts from this blog

Marriage and Loyalty

The Year is 1994