Tiba-tiba Operasi
Saat itu waktu sudah menunjukkan jam 12 malam, aku yang sudah dipakaikan kateter disuruh menunggu untuk masuk ke ruang berikutnya. Setiap beberapa menit sekali perutku diperiksa oleh dokter muda, yang sepertinya disuruh stand by di sampingku. Pada saat itu aku masih belum merasakan pusing apalagi gejala akan kejang. Setelah sekitar satu jam di ruangan itu, aku dipindah ke lantai atas, ke ruangan pre natal. Di sana sudah ada beberapa ibu hamil yang juga mengalami resiko sehingga harus dioperasi. Aku ditempatkan di antara mereka dan ditensi kembali. Ternyata tensiku masih tinggi. Dokter memberikan nifedipine lagi untuk aku minum, lalu kandunganku kembali di USG sound. Terdengar suara gemuruh, yang menurut dokter adalah suara pergerakan bayi. Alhamdulillah bayiku masih aktif bergerak. Tak lama seorang ibu hamil dibawa keluar, ternyata sudah gilirannya untuk dioperasi.
Kuperhatikan rata-rata ibu hamil yang ada di sana masih muda-muda, sepertinya aku saja yang agak senior. Ada seorang ibu yang saat diperiksa perutnya hampir tak ada suara apapun, lalu tak lama ia pun dibawa ke ruang operasi, mungkin sudah mengkhawatirkan. Tiba-tiba aku merasakan kepalaku pusing sekali, sampai aku teriak memanggil perawat. Pusingnya itu seperti apa ya...kaya mau jatuh, padahal posisi aku berbaring. Perawat memanggil dokter, yang segera meminta aku ditensi. Ternyata tensiku masih saja tinggi. Dokter meminta aku meminum nifedipine kembali. Kalau aku ingat-ingat, sepertinya aku malam ini menelan nifedipine seperti makan permen saja, hampir setiap 10 menit sekali. Namun kepalaku masih sangat pusing. Kata perawat, aku belum bisa dioperasi kalau tensiku masih di atas 150, padahal aku harus segera dioperasi. Sekitar satu jam kemudian, setelah dilakukan suntikan penguat paru untuk bayiku, serta dengan kondisi lemas akibat serangan sakit kepala yang tak kunjung reda, aku dibawa ke ruangan lain yang luar biasa dingin, sampai aku menggigil hebat. Di situ aku bertemu suamiku. Wajahnya terlihat cemas, dan ada juga dokter kepala yang akan memimpin operasi. Suamiku mencium keningku dan memberikan semangat buatku, namun aku sudah tak mampu menyerap kata-katanya, termasuk apa yang dikatakan dokter kepada suamiku. Yang kuingat adalah suamiku menandatangani sebuah surat, yang kemudian kuketahui adalah surat pernyataan menerima tindakan operasi kelahiran termasuk tindakan steril/tubektomi. Kata suamiku, menurut dokter aku tidak boleh hamil lagi, karena selain faktor usia, jika anak yang sekarang PEB, besar kemungkinan yang selanjutnya juga sama. Lagipula alhamdulillah kami sudah punya empat anak, laki-laki dan perempuan, jadi insya Allah sudah cukup lengkap juga.
Setelah hampir mati rasa seluruh tubuhku, akhirnya aku dibawa masuk ke ruang operasi. Aku tadinya berharap ruangan ini akan lebih hangat, ternyata tidak. Maka masih dengan tubuh menggigil aku disuruh duduk memeluk kaki, dan disuruh rileks. Karena ini pertama kali aku dicesar, aku belum paham mau diapakan. Hanya ada dua dokter dan satu perawat di situ. Perawat berusaha membuat suasana lebih rileks dengan bertanya-tanya tentang diriku sambil bercanda, sementara dokter menyiapkan jarum anestesi. Aku pernah lihat adegan ini di salah satu film barat. Konon ini adalah momen terpenting dalam operasi, yaitu pembiusan. Kalau dokter salah bius, maka akibatnya bisa mengerikan. Aku yang masih menggigil hanya tersenyum-senyum saja dengar candaan perawat, lalu tak lama ia mengatakan, "Bismillah ya Bu, ini bakalan sakit banget, ibu tetap peluk kaki ibu ya, ini saya bantu pegangi, jangan bergerak ya Bu"
Aku mengangguk, dalam hati aku mempersiapkan diri dan membaca ayat kursi, serta surah 3 Qul. Lalu terasa jarum dingin menyentuh kulit sampai tulang, dan rasanya subhanalloh, ngiluuu banget. Oh jadi begini ya rasanya bius cesar...ya ampun...memang sakit, tapi ternyata tidak semenakutkan itu.
Kemudian aku dibaringkan kembali, dan tak lama dokter menusuk-nusuk perutku.
"Kalau saya sentuh seperti ini, rasanya seperti apa Bu? seperti benda tumpul, enggak?" tanyanya
"Iya Dok", jawabku.
"Enggak sakit, kan? padahal ini pisau lho.."
"Enggak sakit Dok," jawabku.
Dokter menggambar dengan spidol bagian yang akan dibedah, lalu menusuk-nusuk seluruh bagian kulit perutku sambil bertanya sakit, tidak? aku menggeleng. Maka sudah saatnya aku dibedah.
Sayatan pisau terasa seperti benda tumpul saja, sayangnya aku tak bisa melihat ada apa di bagian bawah sana karena ditutupi kain oleh perawat. Hidungku pun dipasang selang oksigen, tapi aku masih sangat sadar, dan mendengar kasak kusuk kedua dokter yang sedang berjuang mengeluarkan anakku.
"Tekan di sini"
"Iya, dorong dari atas, ini agak susah nih"
"Posisi bagaimana?"
"Sedikit lagi, push...push..."
Aku merasa perut bagian atas aku ditekan ke bawah sangat keras, meski dibius, tapi terasa juga sakitnya.
Tak lama aku merasa ada sesuatu ditarik dari perutku, namun tidak ada suara bayi menangis. Anehnya meski aku sadar, tapi aku tak sanggup bertindak apapun juga. Bahkan berfikir kenapa bayiku tidak menangis saja tidak. Setelah itu aku merasakan dokter melakukan sesuatu di bagian dalam perutku, aku rasakan tangannya di dalam perutku, dan tak lama ia menutup perutku dan menjahitnya, Jadi memang sayatan yang dibuat dokter sangat kecil, ya, mungkin hanya sekitar 10 cm, jadi kalau tangannya masuk ke dalam perut aku bisa merasakannya.
Alhamdulillah operasi selesai, aku dirapikan kembali dan dibawa keluar ruang operasi, tanpa sedikitpun melihat bayiku, boro-boro seperti di film-film, bayinya ditaruh di dada ibunya. Hal ini karena bayiku adalah bayi prematur preeklampsia, sehingga langsung dimasukkan NICU. Saat aku dibawa ke luar, suamiku dan dokter kepala sudah menunggu di ruangan yang tadi, yang dingin luar biasa itu. Mereka tersenyum lebar dan mengucapkan selamat, suamiku memelukku sambil menghujaniku dengan ciuman. Aku merasa sangat mengantuk dan menggigil. Anak kami Adzkiya Salman lahir pada hari Rabu jam 3 pagi, di usia kehamilan 8 bulan, dengan berat 1900 gram. Alhamdulillah kondisinya cukup stabil.
Setelah kurang lebih satu jam dan beberapa kali menggigil hebat, aku dibawa ke ruang post natal. Di sana sudah ada beberapa pasien juga, dan beberapa dokter. Alhamdulillah suhu ruangan sekarang lebih bersahabat, tak lama kemudian aku tertidur.
------------------------
Saat terbangun, aku merasa ruangan tambah menghangat. Ternyata cahaya matahari sudah mulai menyinari jendela yang tidak ditutup vertical blind atau gordyn. Aku baru menyadari kalau aku hanya mengenakan pakaian operasi dan ditutupi selimut. Tak lama perawat yang sepertinya sudah senior datang menghampiri aku. Ia membawa baskom berisi air dan waslap. Aku terhenyak, apakah aku akan dibasuh? tapi masih banyak dokter laki-laki di ruangan ini. Perawat itu sepertinya memahami keenggananku, rasanya mau ngomong tapi tidak bisa.
"Enggak apa-apa, ini kan semua dokter", ujarnya. Aku menggeleng, namun perawat ini sepertinya ingin segera menyelesaikan tugasnya, jadi ia tetap menyeka tubuh bagian bawahku, sementara dokter-dokter muda, laki-laki, berdiri tidak jauh dari bedku. Rasanya aku seperti dilecehkan, aku yang perempuan berhijab, dibuka auratnya dihadapan laki-laki lain. Namun aku tak kuasa melawan, sepertinya pengaruh bius atau sakit kepala semalam masih memengaruhiku. Dalam hati aku merutuki kenyataan bahwa aku ternyata harus mengalami kejadian yang paling aku tidak inginkan, yaitu melahirkan di RSCM.
Benakku melayang pada suatu hari di bulan Desember, 20 tahun lalu. Sebuah telepon darurat mengabarkan kondisi kakak sulungku yang tengah berjuang antara hidup dan mati di meja operasi cesar dikarenakan kehabisan banyak darah. Di sini, di RSCM ini. Aku yang mengunjunginya sempat melihat ia dibawa dari ruang pasca ops ke ruang perawatan dengan dikelilingi banyak dokter atau perawat, mungkin lebih dari 5 orang. Saat itu bangsal perawatannya masih belum direnovasi seperti sekarang, sehingga lantai ubin, dinding, dan pintu-pintu terlihat suram dan tua. Ditambah belum ada lampu LED, sehingga bohlam-bohlam dengan sinar kekuningan menambah muram suasana RS. Sempat tercetus dalam hati, saat aku mencuci popok keponakanku, tak akan pernah aku menginjakkan kaki di RSCM untuk berobat apalagi melahirkan!
Kenyataannya saat aku mengalami infeksi telinga 3 tahun lalu, aku terpaksa menginjakkan kakiku di RSCM ini karena dibawa oleh dokter spesialisnya sendiri, dari RSCM Kencana ke RSCM lama. Dari situ harusnya aku sudah paham bahwa hidup kadang memang sebercanda itu.
Pada akhirnya aku yang menghindari melahirkan pakai BPJS, malah jadi pakai BPJS. Kelas 3 pula, karena kelas 1 dan 2 penuh. Rasa kesal karena tidak jadi melahirkan di RS Columbia Asia yang sudah kubooking ruangannya, ditambah perlakuan beberapa perawat yang semena-mena membuat aku stress sampai ASIku tak mau keluar.
Jadi setelah aku dilap, perawat menginstruksikan supaya aku belajar berbaring miring, ke kanan dan ke kiri. Siang sampai sore hari aku harus sudah bisa miring ke kanan dan ke kiri. Lalu sorenya aku harus belajar duduk, supaya malamnya aku sudah bisa duduk, dan besoknya bisa belajar berdiri. Ini semua adalah target-target yang harus dicapai, jika ingin jahitan operasiku cepat kering. Aku membayangkan jahitan yang mulai terasa ngilu, bertanya-tanya apakah aku akan sanggup memenuhi target-target itu.
Tak lama kemudian tiba-tiba aku dikeluarkan dari ruangan itu bersama dengan pasien-pasien lainnya. Ternyata ruangan mau dibersihkan. Aku ditempatkan di selasar. Gilanya, aku fikir hanya beberapa menit saja, ternyata sampai beberapa jam kemudian, sampai aku terbangun kegerahan karena sudah siang, aku masih saja di selasar, dilewat-lewati banyak orang!
Kalau kalian berfikir hanya sejam atau dua jam, salah besar. Aku ditempatkan di selasar tersebut sampai jam 4 sore. Bayangkan, dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore, hanya dengan pakaian operasi dan selimut, serta rambut yang ditutup topi operasi. Inilah sebabnya aku tidak mau pakai BPJS, karena perlakuan yang sangat tidak manusiawi.
Tapi aku saat itu sudah berhasil miring ke kanan dan ke kiri, meski harus menahan sakit. Sakit luka jahitan dan tentu saja, sakit hati.
Sekitar pukul 9 malam akhirnya aku ditempatkan di ruang perawatan kelas 3. Saat itu aku dipakaikan baju lagi, dan mulai belajar duduk. Alhamdulillah tidak ada kesulitan berarti, aku fikir, besok tidak akan ada masalah buatku belajar berdiri. Saat itu suamiku belum datang, karena setelah mengurus dokumen administrasi, ia meluncur ke rumah kami dan ke rumah ibunya di Gunung Puteri untuk mengambil baju-baju bayi, selimut, bedong dan popok.
Sekitar jam 12 malam, saat aku tertidur, aku dibangunkan oleh perawat. Ternyata bayiku diantarkan ke kamar dan harus disusui. Sayangnya ASIku masih belum mau keluar, membuat perawat yang usianya sudah cukup tua marah-marah kepadaku. Disangkanya aku tak mau berusaha. Ya Allah...entah apa yang membuatku tidak membalas perlakuannya yang menyebalkan itu. Akhirnya bayiku sekarang ada bersama aku, namun ia ditempatkan di inkubator di depan dipanku. Karena aku blm ada ASI, maka ia diberikan susu formula, yang pemberiannya langsung oleh perawat di ruangan mereka.
Sekitar jam 2 dini hari, Adzkiya menangis kencang, dugaanku ia haus. Aku yang baru bisa duduk, terpaksa harus berdiri dan berjalan menghampiri inkubator, karena takut tangisannya mengganggu ibu-ibu yang lain. Yang rencana awal baru paginya aku belajar berdiri, ini malah harus berjalan dan menggendong bayi sekaligus. Terbungkuk-bungkuk aku memegangi perut, lalu mengambil bayiku dan menggendongnya. Aku coba menyusuinya namun sia-sia. Selain ASIku tidak keluar, mulutnya juga terlalu kecil untuk puting payudaraku. Akhirnya aku taruh lagi bayiku di inkubator, dan aku berjalan ke luar ruangan perawatan untuk mencari perawat dan meminta susu untuk bayiku. Syukurlah ada perawat, dan ia mengambil bayiku untuk diberikan susu di ruang nurse.
Saat itu bayiku dibedong pakai kain sarung, karena kain bedongan belum datang, sementara ia sudah pup di kain bedongan dari RS. Satu hal yang miris, saat aku buka bedongannya, bayiku tidak mengenakan baju atau popok, jadi telanjang aja gitu. Aku putar otak dengan apa aku harus ganti kainnya yang sudah kotor ini? untunglah ada kain sarungku yang memang kubawa bersama satu set pakaianku sejak kemarin. Lalu aku bedong Adzkiya dengan kain sarung itu. Alhamdulillah setelah dari ruang perawat, bayiku sudah diberikan popok sekali pakai, meski tetap tidak pakai baju.
Paginya, sehabis subuh suamiku datang membawakan tas berisi baju-bajuku dan baju-baju bayi, termasuk bedong dan popok sekali pakai ukuran newborn, yang tentu saja, kebesaran untuk Adzkiya yang berbobot hanya 1,9 kg. Kemudian ia pergi lagi karena memang aturannya tidak boleh ada yang menemani di kamar itu. Sebenarnya aku paham ya, karena kamar ini memang untuk ibu-ibu yang bayinya masih di NICU. Tapi kan bayiku sudah ada di sini, jadi aku butuh bantuan orang lain untuk mengurus bayiku, seperti mengambil dari inkubator ketika ia menangis dan menaruhnya kembali. Sebab terus terang saja aku harus berjalan terbungkuk-bungkuk memegangi perut dan menahan ngilu untuk bolak balik ke inkubator.
Paginya ada kejadian ajaib lagi. Jadi setelah aku mandi, datanglah perawat yang selalu memarahiku itu. Ia membawa ember untuk memandikan bayi dan ditaruh di lantai. Kemudian ia memandikan bayiku layaknya bayi biasa, bukan bayi prematur. Tapi kemudian setelah selesai mandi, bayiku ditaruh di dipan kecil untuk dikeringkan. Tiba-tiba ia mendapat telepon lalu tanpa bicara apa-apa, meninggalkan bayiku yang masih berselimut handuk. Aku pikir hanya sebentar. Tapi setelah hampir 2 menit, si perawat belum kembali, akhirnya aku ambil alih mengeringkan bayiku dan memakaikan bajunya. Saat akan membedong, aku lupa caranya. Maklum sudah 13 tahun sejak terakhir aku membedong bayi. Si perawat kembali dan marah-marah karena cara membedong aku salah. Katanya sudah pernah punya bayi masa nggak bisa ngebedong? Dia aja yang sudah setua itu masih ingat caranya membedong bayi,
Lah...aku kan sudah lama banget nggak punya bayi, sementara dia kan memang pekerjaannya mengurus bayi??? rasanya perawat ini memang sakit jiwa.
Sekitar jam 10 pagi, datang dua orang perawat berbaju pink. Katanya mereka adalah perawat khusus bayi kangguru, artinya perawat khusus untuk bayi-bayi prematur. Bayiku langsung ditangani mereka, dibersihkan inkubatornya dan disusui di ruang perawat. Salah satu perawat itu memberikan instruksi bagaimana merawat bayi prematur. Selain mengajariku cara menggendong untuk transfer panas tubuh, memberikan susu tiap dua jam sekali dengan bantuan pipet atau sendok (karena mulut mereka kecil sekali), juga bayi prematur hanya boleh dilap air hangat saja selama tiga bulan. Lalu apa yang kusaksikan tadi pagi? bayiku dimandikan oleh perawat galak selayaknya bayi biasa, diceburkan ke air suam-suam kuku dan disabuni. Rasanya ingin tepok jidat. Bagaimana sih ini rumah sakit, seperti tidak ada SOP atau koordinasi.
Setelah perawat pink berlalu, akhirnya untuk selama setengah jam aku bisa beristirahat dan mulai menghubungi keluarga, sahabat dan rekan-rekan kantor melalui handphone.
Comments