The Year is 1994 ...and a little bit 1995

Setelah telepon yang menentukan nasibku itu, di otakku mulai terbersit banyak hal. Bagaimana mengurus transkrip nilai, baik nilai FE maupun LIA. Untungnya di LIA aku mulai final test Intermediate 4, jadi pas dengan kenaikan tingkat. Nantinya untuk level Advance aku bisa lanjutkan di Jakarta. Bagaimana dengan uang kost yang kadung sudah dibayar setahun? kakak-kakak kosanku menyarankan untuk mengalihkannya ke mahasiswi lain yang membutuhkan. Namun ternyata ibu kos aku menolak. Belakangan aku mengetahui bahwa memang mengalihkan sewa ke orang lain tanpa persetujuan landlord termasuk hal yang dilarang dalam perjanjian sewa menyewa. Aku juga memikirkan pesta perpisahanku dengan teman-teman kampus, mau traktir mereka di mana, sampai rencana pulang menggunakan bus Damri yang belum pernah aku lakukan semenjak kuliah di Unila dan bolak balik Jakarta-Lampung. Banyak sekali hal-hal yang ingin kulakukan agar kepergianku dari Lampung agak memorable bagi teman-teman yang kutinggalkan.

Aku lupa berapa lama sejak telepon itu sampai hari H kepulanganku, yang jelas aku sudah menyelesaikan kursus di LIA dengan menitip pesan kepada bagian admin agar sertifikat kelulusanku diposkan ke Jakarta. Sepertinya tidak sampai seminggu, karena aku berencana untuk mengadakan farewell party di kampus pada hari Senin di minggu depannya. 

Tanpa disangka-sangka, pada Sabtu malam datang kakakku dengan pacarnya ke kosan aku. Tujuan mereka adalah menjemputku pulang. Ya Allah, bagaimana ini? aku belum berkemas, sementara mereka memaksa malam itu juga aku harus kembali ke Jakarta. Buyar sudah semua rencana yang aku susun, kakakku membantu aku mengepak semua barang-barang, sementara yang terlalu besar kami tinggalkan. Aku masih ingat malam itu dengan rasa segan dan takut, aku meminta izin kepada ibu kost untuk pulang, meminta maaf atas segala kesalahan dan terutama untuk pergi dari kosan malam-malam (jam 21.30). Ibu kosku diam saja, sementara bapak kos bahkan tidak mau melihatku. Dalam hati aku menyalahkan mamahku & mbak Fitri yang menjemput tanpa mengabarkan terlebih dahulu. 

Setelah berpamitan kepada seluruh penghuni kos yang ada, (beberapa sedang liburan di Jakarta), aku pun meninggalkan kosan yang penuh dengan kenangan. Boneka racoon kesayangan kuberikan kepada Qori, entah apakah ia masih menyimpannya? Boneka racoon lucu yang dibelikan mamaku di Cihampelas saat kami menjenguk kakakku yang tertua di Bandung.

Malam itu sambil menahan kekesalan, aku hanya terdiam. Memandangi jendela bus yang membawa kami ke Bakauheni, akhirnya air mataku pun tumpah. Rasa bersalah kepada bapak/ibu kos dan teman-temanku karena tak mampu melaksanakan janji2 yang sudah terucap, yaitu farewel party, melebur menjadi cucuran air mata sepanjang Rajabasa - Bakauheni.

Setelah berada di Jakarta beberapa hari, aku mulai mencari informasi bimbel UMPTN. Tentu saja pilihanku adalah Nurul Fikri, yang sudah terbukti meloloskan teman-temanku ke universitas-universitas favorit mereka. Ternyata untuk veteran seperti aku ada program tersendiri, namanya program RONIN. aku lupa kepanjangannya apa, pokoknya ya seperti itulah.

Maka hari-hariku disibukkan dengan bimbel 3x seminggu. Jauhnya jarak tempat kursus dari rumah dan jam kursus yang cukup pagi ternyata menjadi kendala tersendiri. Saat itu aku dari Cilincing harus naik kendaraan 3x menuju NF yang terletak di Jl. Kramat Raya, Senen. Dan karena jamnya pagi, jadi ikut arus kerja yg menyebabkan padatnya di transportasi umum juga jalan raya. 

Akibatnya sudah diduga, aku sering terlambat. Dan karena remaja galau, bukannya cuek aja masuk kelas, aku malah malu. Akhirnya balik arah pulang. Namun karena tidak mungkin aku balik ke rumah, maka tujuanku adalah rumah Dinar, yang saat itu kuliahnya siang. Jadi aku bisa transit di rumahnya sampai jam 11 siang, lalu pulang saat ia berangkat kuliah.

Tapi meski demikian, setiap try out aku selalu masuk, dan alhamdulillah bisa mengerjakan soal-soal karena sudah dibekali hands-out dari pengajar Bimbel yang kupelajari sendiri di rumah.

Puncaknya, saat mengikuti UMPTN 1995, aku terperanjat hebat. Karena soal-soal yang keluar di UMPTN, plek ketiplek sama persis dengan soal-soal yang aku pelajari di NF! Luar biasa! 

Aduh kalau tau begitu pilihan pertama sastra Inggris UI aja yah..hahahaha

Karena trauma dengan UMPTN sebelumnya, aku sudah nggak ngarep FSUI lagi. Jadi pilihan pertama aku langsung FHUI yang peluangnya lebih besar, dan pilihan kedua HI FISIP UI.

Alhamdulillah sesuai harapan, aku lolos UMPTN 1995. Ada tiga hal yang menurut aku menjadi penyebab kuat lolosnya aku ke UI:

1. Soal-soalnya sudah aku kuasai;

2. Aku tidak begadang lagi seperti tahun lalu;

3. Ayahku sedang berada di tanah suci menunaikan ibadah haji. Tentunya doa beliau makbul, ya kan. Hehehe...jalur langit mode on.

Bukan cuma aku aja yang ikut UMPTN gap year. Sahabatku Diana yang sebelumnya di FIA Unbraw juga mencoba peruntungan kedua kalinya, dan alhamdulillah iapun lolos FISIP UI, jurusan Hubungan Masyarakat, kalau tidak salah.

Sehingga akhirnya Untouchables bersatu kembali di Universitas Indonesia, kecuali Eny yang tetap setia di ASMI dan tidak mau mencoba untuk kedua kalinya seperti aku dan Diana.

Ada satu cerita kekonyolan aku dan Diana pada masa orientasi Maba di UI. Yang jelas kami sama-sama tukang telat. Parahnya kami pernah sama-sama telat saat upacara penyambutan Maba di Balairung, dan dihukum tidak bisa mengikuti upacara, sehingga harus berbaris di belakang gedung bersama maba lain yang telat. Ini terus terang memalukan, sih.

Puncak kemalasan aku adalah, datang ke Rektorat dan menyerahkan sertifikat P4 Unila, agar terbebas dari kewajiban opspek UI. Tentu saja akibatnya sungguh mengenaskan. 

Di awal semester aku tidak punya teman, sampai akhirnya ada acara tadabbur alam dari Rohis yang mengharuskan maba muslim untuk mengikutinya. Barulah aku mendapatkan teman, itu juga cuma satu dua. Untungnya tidak berapa lama ada juga mahasiswi lainnya yang mau berteman denganku...hehehe

Tapi hey, itu cerita di tahun 1995 dst.

Episode 1994 berakhir sudah, tahun yang penuh kenangan, manis dan pahit. Penuh dengan pembelajaran hidup. Terutama kali pertama aku kost di tanah yang jauh.

Meskipun kuliahku di Unila gagal, tak sedikitpun aku menyesali apa yang sudah kualami. Semuanya menjadi pengalaman hidup yang sangat berharga. Puji syukur kepada Allah dan terima kasih kepada kedua orangtuaku yang selalu berbesar hati mengikuti kemauan anaknya dan memenuhi segala kebutuhanku, meski aku tau itu semua tidaklah mudah.

Semoga menjadi amal baik yang tercatat di lauhul mahfuz, di mana aku sebagai saksi, bahwa kedua orangtuaku adalah orang tua yang baik dan sangat bertanggung jawab. Insya Allah surga bagi mereka kelak. Aamiin ya Rabbal aalamiin. 


*tamat*


Comments

Popular posts from this blog

Marriage and Loyalty

The Year is 1994

Is Marriage Scary?