Tarsinah
Jantungku seperti mencelos dan duniaku disekelilingku seakan sejenak gelap berputar-putar.
Entah didesak oleh kebutuhan ekonomi keluarga, ingin membantu orang tua atau ditipu oleh agen penyalur PRT, pada akhirnya ia terdampar di sebuah rumah di daerah tempat aku mengotrak selama 3 bulan terakhir ini.
Pertama kali aku melihatnya di rumah itu, yaitu saat aku harus berangkat pagi-pagi sekali untuk ke bandara. Aku melihatnya sedang menyapu halaman. Saat itulah aku melihatnya pertama dan terakhir kali. Ia membawa baki sampah dari halaman dan membuangnya ke tempat sampah di depan rumah itu. Selintas aku melihat gerakan yang ganjil dari cara bocah itu berjalan, seeprti terseok-seok. Refleks aku melihat pada kakinya dan terperanjat begitu menemukan bekas-bekas luka seperti sundutan rokok dan lebam lainnya. Sontak aku berhenti dan menatapnya. Sadar diperhatikan, ia menoleh ke arahku dan membalikkan tubuhnya dengan tergesa-gesa masuk ke halaman rumah lagi. Aku mencoba menyusulnya, namun ketika aku sampai di depan halaman rumahnya terdengar bunyi mesin mobil dinyalakan dan dan sepasang mata menatapku curiga. Kuduga dia adalah majikan perempuannya.
Sejak pagi itu, hatiku selalu resah. Aku yakin ada sesuatu terjadi di rumah itu, sesuatu yang mengerikan, mengingat bekas-bekas luka di kaki bocah itu dan tatapan kejam dari majikan perempuannya. Aku berusaha memanjangkan telinga mencari-cari berita atau kasak-kusuk di kalangan tetangga, mungkin saja ada yang pernah tau tentang rumah itu dan bocah pembantu di dalamnya.
Tapi sia-sia saja.
Dua bulan berlalu, kesibukan kerja telah menyita waktu dan pikiranku sehingga permasalahan bocah pembantu itu terhilang dari benakku. Sampai secara tidak sengaja sewaktu aku berjalan pulang dari kantorku, samar-samar aku mendengar obrolan di depan pos siskamling.
“iya, kasian bener..kasian, ga tega ngeliatnya”, ujar salah seorang yang berkaus biru.
“katanya sih, waktu ditanya, tuh anak jatoh dari tangga, jidatnya benjol gitu”
Aku berpura-pura memilih gorengan sembari mencoba mencuri dengar obrolan mereka. Entah kenapa aku sangat penasaran.
“si Ati bilang, majikan cewenya dulu pernah dipenjara gara-gara mukulin pembantu juga”, lelaki berkaus putih menambahkan.
“hiiy…jangan-jangan dia kumat lagi, Jang”, sahut temannya yang berkaus merah.
“tau tuh, naga-naganya sih gitu”
“laporin aja ke polisi”
“ntar kalo kita salah, gimana? Berabe,
“cieee…belagu luh Jang…sok ngomong kaya orang pinter...praduga tuh makanan apaan??” seorang yang memakai kupluk hijau yang dari tadi diam saja, mengemplang kepala orang yang bernama Ujang. Lalu mereka tertawa-tawa geli.
“trus ceritanya si Karmin gimana tuh? Katanya ketangkep basah selingkuh sama si Nuri?” kali ini si kaus putih yang bicara.
Topik pembicaraan telah berganti. Aku membayar gorengan yang aku beli, lalu meninggalkan tempat itu.
Rata-rata mereka trenyuh, tetapi tak mampu berbuat apa-apa.
“kalo yang sebelum ini mah, udah dipulangin ke agennya”, ucap mpok Sarti penjual nasi uduk pada suatu hari.
“nah kalo yang itu agak tua-an dari yang sekarang Neng”, tambahnya lagi.
“iya, yang sekarang kayanya masih anak-anak banget, Mpok, kok boleh ya anak sekecil itu kerja?” tanyaku penasaran.
“lah jangan Tanya sama saya, Neng..he…he..mana tau, kita”, terkekeh mpok Sarti memperlihatkan barisan giginya yang ompong dua di depan.
“tapi saya denger sih dia ngambil dari Jawa gitu kabarnya”
Aku menarik napas, “pantesan aja kalo gitu Mpok. Saya cuma kasihan aja”
“ya kita juga kasihan Neng, paling-paling kalo udah dianggep ga bisa kerja tuh bocah dipulangin ke kampungnya”
Mpok Sarti mengikat bungkusan nasi uduk pesananku dengan karet, lalu ia menambahkan,”yang kemaren sih gitu”.
“ya..mudah-mudahan saja Mpok, ini uangnya. Makasih ya”, aku menyerahkan uang pas Rp. 4.000,- kepada Mpok Sarti dan meinggalkan warung nasi uduk untuk berangkat ke kantorku.
Hari ini, tanggal 17 Agustus 2008, Hari peringatan proklamasi kemerdekaan RI, tepat satu bulan setelah aku pindah dari kontrakanku yang lama.
Pagi hari saat aku selesai mandi dan hendak menyeruput kopi, tak sengaja aku melihat berita itu.
Tapi apakah lazim membawa jenazah manusia ke dokter dengan dibungkus kantong plastik?
Tak henti-henti aku menyalahkan diriku, menyesalkan orang-orang disekelilingku, menyesalkan Mpok Sarti, Ujang dan ketiga temannya dan yang paling menyakitkan, aku menyalahkan diriku yang pengecut ini. Ribuan kata seandainya, kalau saja dan sebagainya bergelayutan di benakku, membentuk sayap-sayap penyesalan yang tiada bermakna.
Kira-kira satu bulan yang lalu aku memiliki kesempatan untuk memperjuangkan keadilan yang sama.
Tapi aku, sebagaimana yang lain, berpaling dan pergi.
Comments